Kamis, September 10, 2009

Perajin Batu Kesulitan Bahan Baku

*Perajin Batu Gondangwangi

Dilarang Pakai Alat Berat, Kesulitan Bahan Baku



MAGELANG (KR)- Akibat dilarang menggunakan alat berat, perajin batu kesulitan mendapatkan bahan baku. Tusirah, pemilik Kriyayogya, di Dusun Penggaron Kidul, Desa Gondangwangi, Sawangan mengungkapkan pelarangan tersebut sudah berlangsung sekitar enam bulan.

Dia yang telah menjadi perajin batu selama 20 tahun, mengatakan setelah pelarangan tersebut, batu yang diperoleh menjadi tidak pasti. “Sekarang harus menunggu terlebih dahulu, tidak bisa langsung mendapatkan batu,” jelas Tusirah.

Padahal, imbuh Tusirah, kerajinan batu yang diproduksinya diekspor hingga ke Belanda. Menurutnya, semenjak ada pelarangan tersebut, pengiriman ke Belanda menjadi terganggu karena ketiadaanya bahan baku.

Tusirah mengatakan bahwa untuk ekspor ke Belanda, yang dipilih adalah batu yang berkualitas baik. “Jika batu lunak, hanya untuk kerajinan dalam negeri, seperti lampion dan asbak,” jelas dia. Untuk ekspor ke Belanda, dalam tiga bulan minimal 300 jenis yang bisa terkirim.

“Memang kondisi ini menjadi dilematis, jika menggunakan alat berat, lingkungan menjadi rusak,” aku Tusirah. Namun tanpa alat berat, penghasilan perajin mengalami penurunan. Hal ini disebabkan untuk mendapat batu harus menunggu kiriman datang, tapi waktunya pun tidak menentu.

Istri Asngari ini mengungkapkan pelarangan dengan menggunakan alat berat ini menjadikan harga batu menjadi lebih murah. “Untuk kualitas yang biasa, dulu sewaktu penambangan dengan begu untuk satu rit, harganya Rp500 ribu,” kata Tusirah. Sekarang, berkisar antara Rp230 ribu.

“Sekarang adalah saat-saat sulit mendapatkan batu dan pembeli,” kata Tusirah. Menurutnya, penjualan mengalami peningkatan pada saat lebaran dan liburan. Biasanya, imbuh Tusirah, usai berwisata di Puncak Ketep, wisatawan dari luar kota tertarik dengan kerajinan batu untuk dijadikan oleh-oleh ke daerah asal.

Untuk harga sendiri, menurut dia, tidak ada perbedaan dengan sebelum ada pelarangan penggunaan alat berat. “Semua masih sama,” bukanya. Untuk cobek, berkisar antara Rp10ribu hingga Rp80ribu. Sementara lampion, mulai Rp70ribu. (Dian Ade Permana)

Charly ST12 : Borobudur Adalah Mahakarya

MAGELANG (KR) – Bagi Charly, vokalis ST12, Candi Borobudur adalah mahakarya yang tidak ada bandingannya di dunia ini. “Ini adalah keajaiban dunia hasil karya manusia Indonesia,” ungkapnya di sela-sela konser One Night in Borobudur, Sabtu (8/9).
“Candi Borobudur adalah sejarah besar yang sangat luar biasa,” kagum pelantun Cari Pacar Lagi ini. Dia mengaku tak habis pikir, bagaimana manusia zaman dahulu bisa ‘menata’ batu hingga menjadi karya yang tidak ada duanya.
Menurut pemilik nama asli Moch. Charly van Houten yang lahir 5 November 1981, Candi Borobudur bagi dirinya tetap merupakan keajaiban. “Suka atau tidak suka, ini adalah anugerah yang tidak ada duanya,” tegas Charly.
Bahkan dengan nada bercanda, Charly mengaku siap mengajak ribut orang yang merendahkan Candi Borobudur. “Gille apa, Candi sebesar dan semegah ini tidak masuk kategori ajaib, kalau mau ngajak ribut gue ladenin,” ungkapnya sambil tertawa.
“Main dan menghibur penonton dengan latar belakang Candi Borobudur dimalam hari sungguh sangat mengasyikkan,” kata Charly. Menurut dia, pengalaman bermain di area Candi Borobudur adalah hal yang mengasyikkan. Suasana temaram, imbuhnya, menjadikan lagu-lagu ST12 bertambah syahdu.
Dia menambahkan, keramahan masyarakat adalah nilai jual untuk Candi Borobudur. “Banyak obyek wisata yang ditinggalkan karena masyarakat sekitar bersikap semau gue, disini (Candi Borobudur) sudah memiliki potensi, harus terus dijaga,” saran Charly.
Disinggung soal kesibukan ST12 sendiri, band yang juga diawaki Ilham Febry alias Pepep (drum) dan Dedy Sudrajat alias Pepeng (gitar) ini masih sibuk manggung dari kota ke kota.
“Kita masih menyelesaikan tour dan manggung dari kota ke kota untuk promosi album terbaru,” pungkas Charly. (Dian Ade Permana)

Minggu, Agustus 23, 2009

Madyo Pitutur


Madyo Pitutur
Berdakwah Dengan Bercerita

MAGELANG (KR) – Berdakwah atau mengajarkan kebaikan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan bermusik atau berkesenian. Karena berisi nasehat mengenai kebajikan, maka cara penyampaian harus diolah sedemikian rupa agar diterima masyarakat luas.
Di Dusun Wonolelo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, untuk menyampaikan petuah, kaum pinisepuh mengembangkan budaya pitutur dengan media kesenian rakyat.
Ki Ipang, Ketua Studio Seni Ipang Wonolelo, kepada KR, Jumat (21/8), mengatakan ketika memberikan petuah diiringi dengan musik yang berasal dari kendang, kimpul, jedor, dan kentongan. “Madyo Pitutur ini sudah berusia sekitar 10 tahun,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, meski sebagian besar penutur ini adalah orang tua, namun anak muda juga dilibatkan dalam kegiatan Madyo Pinutur. “Misalnya untuk memegang alat musik,” kata Ipang. Menurutnya, dengan mengajarkan sejak dini kesenian pitutur ini, maka anak-anak bisa mengerti tentang budaya yang mulai ditinggalkan ini.
Ipang menjelaskan sejak usia pelajar SMP sudah dilibatkan dalam Madyo Pitutur. “Sementara orang tua berperan sebagai pengarah,” tegasnya. Respon anak muda, imbuh Ipang, cukup bagus dan bergairah dalam belajar seni pitutur.
“Lirik yang ditembangkan dalam pitutur ini berasal dari buku dan kitab,” kata Ki Ipang. Dengan ada panduannya, maka ketika syair diucapkan, tidak akan ada kesalahan. Apalagi, pitutur yang keluar akan dijadikan sebagai pegangan dalam hidup.
Hingga saat ini, ada sekitar 30 syair yang dikuasai Madyo Pinutur. “Dalam seminggu kami berlatih sekali, namun jika akan pentas, intensitasnya bisa bertambah,” jelas Ki Ipang. Untuk pentas, Madyo Pinutur telah merambah hingga se-Karisidenan Kedu. Pentas biasa dimulai jam 21.00 WIB hingga 03.00 WIB dinihari.
“Isi syair dalam pinutur adalah ajaran luhur supaya manusia selalu ingat untuk menjaga perilaku yang baik dan patut, selalu percaya diri, berpegang teguh kepada budi pekerti,” ungkap Ipang. Selain itu ada juga ajaran tata karma, tata susila, sopan, tidak sombong, dan rendah hati. (Dian Ade Permana)

Dusun Maitan, Borobudur, Magelang

Dusun Maitan, Pesona Wisata Desa


Jika ditanya, pasti tidak ada yang mengenal Dusun Maitan, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Namun, dusun yang terletak sekitar satu kilometer dari Candi Borobudur ini memiliki potensi besar dibidang pariwisata.
Meski belum tertata sempurna, namun warga dusun ini mulai menggeliat untuk menyambut wisatawan. Salah satu daya jual Dusun Maitan adalah Gunung Bakal. Walau bernama gunung, tapi ketinggiannya hanya sekitar 200 meter. Begitu naik keatas Gunung Bakal, yang terlihat hanya pepohonan, mulai dari bambu, pohon jati, hingga kelapa.
Dengan rute yang sedikit terjal, kurang dari 15 menit, sudah mencapi puncak. Inilah pesona Gunung Bakal. Di sebuah gubuk, pandangan lurus langsung melihat Candi Borobudur yang dikelilingi Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Pegunungan Menoreh. Dilain sisi, Gunung Sindoro dan Sumbing menanti untuk dinikmati.
Sarifudin, Pjs. Sekretaris Desa Borobudur, yang bermukim di Dusun Maitan mengungkapkan, bahwa sejak setahun lalu warga dusunnya telah berupaya untuk menggarap lahan pariwisata. “Ketika itu yang ditawarkan hanya wisata aktifitas masyarakat dan budayanya,” jelasnya.
Sejak awal 2009, warga mulai membuka Gunung Bakal. “Setelah itu, gubuk ini dibangun agar wisatawan nyaman berada di Maitan,” kata Udin, panggilan Sarifudin kepada KR, Rabu (19/8), di gubuk Gunung Bakal. Saat ini, hanya satu gubuk yang berukuran 2 kali 3 meter. Rencananya, gubuk akan ditambah.
“Kami tetap mempertahankan nuansa alam dan desanya, karena itu adalah daya tarik,” tegas Udin. Jika pagi hari, imbuhnya, saat matahari terbit adalah momentum terbaik untuk menaiki Gunung Bakal. Di gunung ini pula terdapat makam kuno yang dikeramatkan warga. Diantaranya Kiai Maito, Kiai Tanjung, Kiai Ciptoroso, dan Kiai Yudhokusumo.
Udin mengatakan penataan kawasan wisata di Dusun Maitan belum selesai. “Kami masih berkoordinasi dengan kelompok sadar wisata, agar kealamian tetap terjaga, sehingga wisatawan nyaman berada disini,” ujarnya. Bahkan, untuk biaya kunjungan wisata juga belum ada tarif resmi, sehingga wisatawan bisa bernegosiasi.
Lebih lanjut, selain pemandangan dari Gunung Bakal, wisatawan yang berkunjung bisa menikmati aktifitas masyarakat yang sedang menders pohon kelapa. “Itu adalah pekerjaan sebagian besar warga pembuat gula merah,” tutur Udin. Selain mendeers, warga Dusun Maitan juga berprofesi sebagai pembuat kerajinan dari bambu. Mulai dari pembuat tikar, keranjang, hingga besek.
“Jika wisatawan ingin menginap, terdapat home stay yang dikelola warga,” kata Udin. Untuk ke Dusun Maitan, dari Candi Borobudur, wisatawan bisa naik gajah atau andong. (Dian Ade Permana)

Jumat, Agustus 21, 2009

TPA Banyuurip Magelang

MAGELANG (KR) - Pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Banyuurip, Tegalrejo, Kabupaten Magelang mengaku dilematis dengan pekerjaan yang dilakoninya. Sebagai sumber penghidupan, TPA ini juga sarang penyakit.

Erwin (56), pemulung yang telah beroperasi sejak TPA ini berdiri pada 1993 mengatakan, selain benda-benda tajam yang mengancam kaki pemulung, sakit di saluran pernafasan juga terkadang dirasakan.

Dia menuturkan bahwa sejak memutuskan sebagai pemulung telah sadar dengan resiko yang dihadapi. “Jika tidak kerja, tidak makan, jika kerja, resiko gangguan kesehatan mengikuti,” kata Erwin. Gangguan lalat akan semakin menjadi ketika musim hujan tiba.

Terpisah, Kepala Desa Banyuurip, Sudiyanto mengatakan pro kontra mengenai keberadaan TPA tersebut memang sudah berlangsung lama.

“Warga yang sebagai pemulung mendapat uang, yang lain terganggu karena bau dan lalat,” ungkapnya. Dia juga mengkhawatirkan adanya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang membayangi warga Desa Banyuurip. Sudiyanto berharap ada solusi terbaik bagi warga dan pemerintah desa agar permasalahan TPA tidak meluas.(Dian Ade Permana)

Upacara HUT Proklamasi Seniman Borobudur

*Seniman Borobudur

Upacara Dengan Pakaian Jawa



MAGELANG (KR) – Sekitar 500 orang seniman dan anak-anak di Kecamatan Borobudur mengikuti upacara peringatan Proklamasi Indonesia di Lapangan Pondok Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, kemarin.

Ganang Tri Laksana, dari Asosiasi Kesenian Rakyat Borobudur (Askrab), mengungkapkan tema upacara kali ini adalah ‘Indahnya Indonesiaku.’ Peserta upacara sendiri terdiri dari 15 kelompok kesenian dan anak-anak.

“Semua peserta harus menggunakan pakaian adat Jawa,” ungkapnya. Menurut Ganang, upacara dengan pakaian Jawa ini bertujuan agar anak-anak semakin mencintai budaya asli daerahnya.

Dia mengatakan bahwa momentum proklamasi ini dapat digunakan untuk menggugah kembali kesenian rakyat. “Anak-anak harus dikenalkan sejak dini dengan jathilan dan topeng ireng agar tidak tergerus zaman,” ungkapnya. Ganang menyakini bahwa dengan mencintai budaya asli daerahnya sama dengan memupuk jiwa nasionalisme.

Sementara itu, Umar, penggiat Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) mengatakan bahwa upacara dengan adat ini dimaksudkan untuk mendapatkan kebahagiaan.

“Upacara jangan hanya menjadi acara seremonial dan paksaan semata, tapi harus menghadirkan kebahagiaan,” kata Umar. Dengan adanya kebahagiaan, maka kesadaran untuk mencintai tanah air dilakukan dengan sepenuh hati.

Eko Sunyoto, seniman PSP Budiluhung menjelaskan, selain upacara, juga digelar lomba estafet egrang dan lari naik kuda lumping. “Mainan tradisional adalah pintu gerbang untuk mencintai Indonesia,” tegas Eko.

“Diharapkan dengan acara Indahnya Indonesiaku ini, rakyat Borobudur dapat benar-benar berpesta dan menikmati kemerdekaannya,” pungkas Eko. (Dian Ade Permana)

Tenggok Raksasa MURI

Tenggok Raksasa Pecahkan Rekor MURI



MAGELANG (KR) – Tenggok raksasa buatan warga Dusun Kopeng, Kapuhan, Kecamatan Sawangan memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI). Tenggok tersebut berukuran tinggi 3 meter dan alas seluas 2 meter.

Agung Nugroho dan Budiono selaku pemekarsa mengatakan dasar pembuatan tenggok ini adalah untuk mengangkat derajat masyarakat Dusun Kopeng. “Semua warga Dusun Kopeng adalah pembuat tenggok, tapi kesulitan pemasaran dan kesejahteraannya minim,” kata Agung, di Balai Desa Kapuhan, Rabu (19/8).

Dia berharap agar dengan adanya tenggok raksasa ini warga memperoleh bantuan dari pemerintah, utamanya dalam modal dan pendampingan. “Dulu pernah ada sekali pelatihan, tapi setelah itu tidak ada kelanjutannya,” ujar Agung.

Ide pembuatan tenggok raksasa ini berawal dari beberapa warga yang membuat tenggok ukuran besar. “Ukurannya 90 centimeter dengan tinggi 1 meter,” ungkap Agung. Tenggok ini dibuat pada Kamis (13/8).

Karena dirasa tanggung, warga berinisiatif membuat tenggok yang lebih besar. “Akhirnya, pada Minggu (16/8) pukul 7 pagi hingga Senin jam 19.00 WIB, semua warga membuat tenggok raksasa ini,” jelasnya. Dengan waktu istirahat pada pukul 01.00 hingga 06.00 WIB.

Untuk membuat tenggok raksasa ini dibutuhkan 35 bambu. “Jenisnya adalah pring apus,” kata Agung. Warga yang turut membuat sebanyak 300 orang. Biaya pembuatan tenggok raksasa ini, mulai bahan hingga tenaga, menelan biaya Rp7,5 juta.

Jika ukuran normal, tenggok digunakan untuk mengangkut pasir atau salak, karena pemasarannya terbatas di wilayah Magelang dan Sleman. “Harganya berkisar antara Rp5000 hingga Rp15.000,” kata Budiono.

Meski telah terdaftar dalam rekor MURI sebagai tenggok terbesar di Indonesia, namun sertifikat belum diterima warga. “Untuk biaya registrasi butuh biaya Rp8 juta, kami sedang mengusahakan agar segera mendapat dana,” kata Agung. Dia mengaku sudah mengusahakan dana dari instansi dan pemerintah. Namun karena terbentur masalah birokrasi, hingga saat ini dana belum dapat cair.

Sumar, Kepala Dusun Kopeng, mengaku bangga dengan karya warganya yang berhasil membuat tenggok raksasa. “Semoga ini bis menjadi momentum kebangkitan ekonomi untuk warga Dusun Kopeng,” pungkasnya. (Dian Ade Permana)

Kamis, Agustus 20, 2009

Demo Pasar Rejowinangun, Magelang

P3RM Geruduk Pemkot
MAGELANG (KR) – Sekitar 40 orang anggota Paguyuban Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang (P3RM) mendatangi kantor Pemerintah Kota Magelang, Kamis (20/8). Mereka menuntut kepada pemerintah agar memberi uang kompensasi kepada 400 pedagang dengan nominal Rp4 juta.
“Uang tersebut sebagai ganti karena kami tidak memperoleh rezeki sebagaimana mestinya untuk bulan ramadhan tahun ini,” ujar Heri Setiawan, Koordinator P3RM. Dia mengungkapkan, uang kompensasi tersebut untuk membayar pedagang karena selama dua bulan, bulan ramdhan dan Idul Fitri, tidak memperoleh penghasilan sebagaimana mestinya akibat Pasar Rejowinangun belum juga dibangun.
Menurut Heri, tuntutan tersebut sangat realistis. “Sebetulnya ada 2000 pedagang yang menjadi korban kebakaran, tapi hingga saat ini hanya 400 orang yang bertahan di penampungan,” ungkapnya. Soal angka tersebut, berasal dari hitungan ketika kondisi masih normal, sehari pedagang mendapat untung Rp100 ribu. Jika dikali 30 hari, mendapat Rp3 juta. Jika dua bulan, semestinya penghasilan Rp6 juta.
Selain menuntut kompensasi, pedagang juga berharap agar Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di Jalan Jendral Sudirman dan bekas area pasar yang terbakar, ditertibkan. “Jika ada pedagang yang turun ke jalan, maka yang di pasar penampungan akan sepi,” jelas Heri.
“Pemerintah harus tegas dalam menegakkan peraturan, kami hanya mengharap keadilan” kata Heri. Kedatangan P3RM ke kantor Pemkot Magelang ini didampingi Bintoro Dwi Prasetyo, dari LSM Cicak Magelang.
Menanggapi tuntutan P3RM, Sekretaris Daerah Kota Magelang, Dr. Senen Budi Prasetyo, mengatakan akan segera menindaklanjuti penertiban PKL yang ada dijalanan. “Spanduk larangan berjualan di pinggir jalan malam ini (kemarin) akan segera kami pasang,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa larangan itu sesuai dengan Surat Edaran Walikota Magelang. “Jika melanggar, akan didenda Rp50 juta atau kurungan selama 6 bulan,” tegasnya. Budi menjelaskan tiada ada niatan dari Pemkot untuk mentelantarkan pedagang. Bahkan saat ini, proses lelang untuk mencari investor pembangunan Pasar Rejowinangun tengah berlangsung. (Dian Ade Permana)

Senin, Agustus 17, 2009

Upacara di Gunung Tidar

*Upacara di Gunung Tidar
Terlambat, Tanpa Indonesia Raya, Tetap Semangat

17 Agustus adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Upacara untuk memperingatinya pun dilaksanakan. Tak ketinggalan di puncak Gunung Tidar. Sekitar pukul 05.00 WIB, ketika kegelapan masih meraja, para peserta upacara yang terdiri dari unsur TNI, Polri, Pramuka, dan Hansip mulai berdatangan.
Dengan langkah tertatih mendaki setiap anak tangga, nafas terengah mulai terdengar. Butuh waktu sekira 20 menit untuk mencapai puncak. Tapi demi upacara kemerdekaan, meski wajah-wajah lelah jelas tergambar, para peserta tetap bersemangat mengikuti.
Jam 06.00 WIB, komandan upacara mulai menyiapkan pasukan. Kerapian barisan mulai diatur. Tahap-demi tahap upacara pun dilalui. Beberapa orang anggota Pramuka masih berdatangan.
“Terlambat mas, upacara mulai pagi dan di gunung,” ujar Heru, siswa SMK I yang mengikuti upacara di Gunung Tidar. Dia mengaku sempat beberapa kali berhenti untuk beristirahat karena kakinya terasa capek dan enggan diajak untuk menapaki gunung setinggi 503 meter diatas permukaan laut itu.
Peluh terus bercucuran ditubuhnya. Dia pun mengambil segelas air mineral untuk meredakan dahaga. “Tidak masalah mendaki, yang penting harus semangat,” tegas Heru. Dia merasa senang bisa ambil bagian mengikuti upacara di Gunung Tidar.
Agus Zaelani, guru SMK I Magelang, mengatakan muridnya yang mengikuti upacara di Gunung Tidar ada 40 siswa. “Saya sudah tiga kali ini upacara di Gunung Tidar,” kata Agus. Menurut dia, upacara di Gunung Tidar dapat meningkatkan kekhidmatan karena sebelum upacara, para peserta musti ‘berjuang’ terlebih dahulu dengan mendaki gunung.
Abdurrahman, seorang Hansip mengungkapkan, upacara di Gunung Tidar membawa kesegaran tersendiri. “Masih sejuk, pagi-pagi naik gunung, segar,” ungkapnya. Meski mengakui dirinya kelelahan, tapi Abdurrahman tidak kapok untuk mengikuti upacara di gunung.
Prosesi upacara peringatan hari kemerdekaan tidak beda dengan tempat lain. Kecuali tempat yang harus dilalui dengan perjuangan dan tidak adanya lagu kebangsaan, Indonesia Raya yang dikumandangkan.
Sementara itu, Inspektur Upacara, Mayor. Cba. Budhi Setiawan, Komandan Tepbek IV-44-02.A/Mgl mengaku bangga bisa memimpin upacara di Gunung Tidar. “Naik gunung ini belum seberapa dibanding dengan perjuangan pahlawan merebut kemerdekaan,” tegasnya.
“Harapan dengan upacara disini adalah agar generasi muda jangan mudah menyerah dalam menggapi cita-cita,” ungkapnya. Dia mengatakan, jumlah peserta yang mengikuti upacara sekitar 200 orang.
Upacara selesai, peserta pun kembali harus berjuang untuk menuruni anak tangga Gunung Tidar. Keceriaan mewarnai perjalanan pulang. (Dian Ade Permana)

Jumat, Agustus 14, 2009

melukis..

....................a...d....e....

masa muda

suatu saat di Stadion Sultan Agung

Red Crizphy Band

*Red Crizphy
Kompromikan Ego Pendengar

MAGELANG (KR) - Tujuan utama bermusik adalah mendapatkan pendengar. Hal ini menjadi patokan ketika Red Crizphy (RC) pertama kali berdiri, Januari 2008. beragamnya permintaan pendengar menjadikan RC memilih aliran musik all around.
Band yang berpersonil Candra dan Reta (vocal), Odix dan Budi (gitar), Anton (bass), Antok (keyboard), dan Bofie (drum) ini setia untuk melayani permintaan lagu pendengarnya.
“Setiap request dari pendengar coba kami respon,” ujar Antok kepada KR, Rabu (5/8) di base camp RC, Jalan Sailendra Raya No.26 Borobudur, Magelang. Dia mengatakan tidak ada spesialisasi aliran musik yang dipilih menjadikan RC mudah diterima oleh kalangan luas.
RC, imbuh Antok, selalu menyambangi berbagai event dan festival musik di Karisidenan Kedu dan sekitarnya. “Beberapa waktu lalu kami mengikuti festival musik di Ambarawa dan mendapat juara II,” bangganya. Selain prestasi untuk band, Bovi juga memperoleh gelar sebagai best drummer.
Setelah cukup matang dan memiliki pengalaman di beberapa event local, RC mulai memberanikan diri menerima tawaran job yang datang. “Hampir semua event pentas seni pelajar dan kafe-kafe mulai mengundang Red Crizphy,” jelas Antok.
Prestasi terbaru yang ditorehkan oleh RC adalah menjadi wakil untuk regional Magelang dalam pagelaran LA Lights Lights Ups Your Soul. “Kami membawakan lagu ciptaan sendiri, Don’t Play With Love,” imbuh Odix.
“Untuk menyesuaikan karakter lagu yang dibawakan, tak jarang kami mengajak vokalis tambahan,” kata Odix. Meski menambah personel, tapi sejak berdiri hingga saat ini, player band tidak pernah berubah. Alasannnya, penyesuian karakter musti dijalani melalui proses dan tidak bisa dalam waktu singkat.
Seperti band lain yang ingin menembus dapur rekaman, RC juga tengah mempersiapkan hal tersebut. “Jalan kami masih panjang, selain mempersiapkan materi, kami juga berusaha agar lebih professional agar tidak bubar ditengah jalan,” pungkas Arot, manajer RC. (Dian Ade Permana)

Cahaya Band

‘Izinkanlah’ Cahaya Bernyanyi


MAGELANG (KR) - Nge-band tanpa arah tak akan menghasilkan apa-apa. Namun ketika mendirikan band sudah berkomitmen untuk menembus dapur rekaman, maka segala usaha akan dijalankan. Seperti Cahaya Band, dari Magelang ini.
Ketika pertama kali berkumpul pada Agustus 2007, tujuan bersama adalah rekaman agar lagu mereka didengar banyak orang. Bongkar pasang personel pun dilakukan, hingga akhirnya menemukan player yang satu komitmen.
Digawangi oleh Ferry (vocal), Tyo (gitar), Yudha (keyboard), Yon (bass), dan Danu (drum), jalan menapaki industri musik Indonesia mulai awal 2009. Bermula dari seorang kerabat yang bermukim di Jakarta dan mendengarkan Cahaya bermain, timbul rasa ketertarikan.
“Dia meminta agar kami membuat master album dan akan mencarikan perusahaan rekaman,” kata Ferry, kepada KR, Senin (10/8) di Boni & Band Studio. Enam lagu mewakili Cahaya untuk mencari peruntungannya di Jakarta.
Di salah satu perusahaan rekaman, lagu-lagu Cahaya diminati. “Kami diminta ke Jakarta dan proses terus berlangsung hingga saat ini,” jelas Ferry, tanpa menyebut perusahaan tersebut.
Setelah master lagu diterima, Cahaya diminta mempersiapkan full album. “Setelah ada perusahaan yang menerima lagu Cahaya, ego masing-masing personel harus dipinggirkan, karena kami sudah masuk ranah komersil,” tegas Danu
10 Lagu akan menjadi andalan Cahaya untuk bertarung mendapatkan pendengar. Suara Hati, Dinda, Tak Mungkin Bersatu, Dan Pergilah, Kisah Cintaku Yang Kedua, Rasaku, Tersenyumlah, Ijinkanlah, Hanya Dirimu, Salahku akan terangkum dalam album bertitel ‘Ijinkanlah.’ “Musik kami easy listening tapi tetap memperhatikan kualitas, pop komersil yang tidak sembarangan,” kata Danu.
“Saat menyanyikan lagu Ijinkanlah, kami dikira menyanyikan lagu Ungu,” tutur Danu. Pasalnya, karakter suara Ferry dan Pasha Ungu ada kesamaan. Meski begitu, dia menegaskan bahwa Cahaya memiliki karakter bermusik yang berbeda dengan band lainnya.
“Saat ini album Ijinkanlah sudah masuk daftar tunggu untuk dirilis, tahun ini akan keluar,” pungkas Danu (Dian Ade Permana)

Wali Konser di Magelang

Dik, Wali Cari Jodoh di Magelang

MAGELANG (KR) – Grup band Wali memuaskan dahaga penggemarnya di Stadion Abu Bakrin, Rabu (12/8). Membuka konser dengan lagu Sahabat Aku Cinta (SAC), sekitar 3000 penikmat musik langsung terhanyut dan mengikuti hentakan lagu.
Usai lagu pertama, band yang digawangi Faank (vocal), Apoy (gitar), Tomi (drum), Ovie (keyboard) ini menyapa penonton. “Sugeng ndalu Magelang, pripun kabar’e,” kata Faank. Setelah mendapat jawaban dari penonton, Tetap Bertahan pun dilantunkan. Faank yang terus berlari-lari di atas panggung, melanjutkan dengan Yang.
“Lagu berikut ini bercerita tentang seorang perempuan yang gue cintai, tapi malah maen dengan teman gue sendiri, salahkan jika gue pingin dia mati saja,” ujarnya disambut gemuruh penonton. Tembang Egokah Aku pun meluncur diiring tepuk tangan penonton.
Usai lagu melankolis itu, emosi penonton kembali dibangunkan dengan lagu bernada cepat, Jodi. Tak puas hanya diatas panggung, Faank pun berlari turun untuk menyapa langsung Parawali (penggemar Wali) yang sedari awal terus mengelu-elukan band yang berdiri 1999 ini.
Dengan dua album yang baru dikeluarkan, Orang Bilang dan Cari Jodoh, Wali mampu menghibur penonton. Orang Bilang menjadi sajian selanjutnya, diikuti Baik-Baik Sayang (BBS).
“Buat semua orang yang datang, yang sayang dengan pacar atau istrinya, Dik,” kata Faank sebelum menyanyikan lagu Dik. Tak ayal, koor dari penonton menyambut intro lagu ini. Dik, aku pinta kau akan slalu setia, Dik, aku mohon kau slalu menemani, Saat ku tengah terluka, Kala ku tengah gundah…
Setelah lagu yang mendayu-dayu yang membuat tangan semua penonton terangkat keatas itu, Wali meluapkan segala caci maki untuk para pengkhianat cinta di lagu Emang Dasar. Penampilan dipungkasi dengan lagu andalan, Cari Jodoh. “Terima kasih Magelang, izinkan Wali Cari Jodoh disini,” teriak Faank. (Dian Ade Permana)

Kelengkeng Ping-pong

Kelengkeng Ping-pong, Tebal dan Wangi

MAGELANG (KR) – Buah kelengkeng pingpong saat ini menjadi primadona karena buahnya yang besar, dagingnya tebal, wangi. Asrofi, pemilik Aneka Tani di Sumberan, Salaman, Kabupaten Magelang mengatakan bibit buah ini berasal dari Vietnam.
“Datang ke Indonesia sekitar tahun 1995, saya membudidayakan pada 1999,” kata Asrofi, kepada KR, Rabu (12/8). Menurut dia, kelengkeng pingpong sangat prospektifk karena bias ditanam di semua tempat, meski hasil paling bagus didapatkan jika pohon ditanam di dataran menengah.
Menurut Asrofi perawatan kelengkeng ping-pong tidak sulit. “Yang penting tanah harus lembab,” tegasnya. Untuk pupuk sendiri, yang paling baik dan cocok adalah pupuk kandang dari kotoran kambing. Selain itu, pohon juga mesti dipangkas pada usia tertentu agar cabang semakin banyak dan rimbun. Dengan demikian ketika berbuah, akan menghasilkan buah yang banyak.
“Ada dua jenis kelengkeng ping-pong, yakni yang daun lebar dan daun kecil,” kata Asrofi. Kelengkeng ping-pong daun kecil asli Vietnam, memiliki cirri buah besar, daging tebal dan wangi. Sementara yang daun besar, buah besar, daging lebih tipis, dan harumnya biasa. Satu kilo dijual Rp40 ribu.
Asrofi sendiri menjual bibit kelengkeng ping-pong tergantung ukuran. “Untuk yang bibit dari okulasi, harga jual mulai Rp20 ribu hingga Rp100ribu, tergantung ketinggian,” ujarnya. Bibit dari biji seharga Rp5ribu untuk ukuran ketinggian 15-20 centimeter.
Dari masa tanam hingga berbuah membutuhkan waktu minimal dua hingga tiga tahun. “Satu tahun mungkin sudah berbuah, tapi belum maksimal,” jelas Asrofi.
Kendala kelengkeng ping-pong adalah hama sejenis teter yang menembus batang dan membikin kering pada lubang binatang itu masuk. “Tapi tidak mematikan, cukup dipestisida dua minggu sekali sudah sehat,” jelasnya.
Selain kelengkeng ping-pong, Asrofi juga membudidayakan kelengkeng Diamond River, Christal, Aroma Durian, Itoh, dan Puang Ray.

Dusun Beji, Kedu, Kabupaten Temanggung

Dusun Beji, Ingin Damai Kembali


Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung adalah desa yang aman dan tentram. Hawa sejuk senantiasa mengunjugi desa ini. Ditambah kebun tembakau dan jagung yang menambah nuansa hijau.
Tapi, hanya gara-gara peristiwa Jumat (7/8) hingga Sabtu (8/8) ‘keamanan’ Dusun Beji menjadi terusik. Ini karena, gembong teroris Noordin M. Top, bersembunyi di rumah Muhzarin, salah seorang warga Dusun Beji. Tak ayal, ratusan anggota Densus 88, Brimbob, dan Samapta mengepung dusun ini.
Ketenangan di sore itu berubah menjadi keriuhan dan ketegangan. Pengepungan selama 17 jam itu pun menjadi tontonan warga. Tak hanya warga Temanggung yang berdatangan, tapi terdapat juga dari Yogyakarta dan Wonosobo.
Mawardi, dari Janti, Yogyakarta mengatakan dia melihat televise ada pengepungan sarang teroris. “Karena tidak terlalu jauh dari Yogya, saya datang untuk melihat langsung,” ungkap dia yang datang bersama seorang kerabatnya, Sabtu (8/8) pagi.
“Tidak takut, kan banyak juga yang melihat, hanya ingin tahu Noordin bukan atau tidak yang dikepung,” jelasnya. Dia mengaku penasaran dengan Noordin M. Top karena ulahnya yang meresahkan dengan melakukan pengeboman.
Sujati, warga Dusun Beji, mengatakan tidak pernah menyangka ada teroris yang bersembunyi di kampungnya. “Tadi sore (Jumat, 7/8) pas ada dua mobil yang melaju kencang dan berhenti di depan rumah Muhzarin, saya bertanya-tanya, siapa tamunya,” jelasnya.
Setelah ada ratusan polisi yang datang, tersiar kabar Noordin M . Top bersembunyi di rumah Muhzarin. “Sekarang Dusun Beji menjadi terkenal ya mas, tidak hanya di Indonesia tapi hingga dunia,” kata Sujati. Tapi sayang, imbuh Sujati, terkenal bukan karena menjadi juara sepakbola, tapi sebagai persembunyian teroris.
“Semoga tidak ada yang menganggap warga lain sebagai teroris, kami hanya petani,”tegas Sujati. Dia khawatir, semua orang di Dusun Beji dianggap menjadi komplotan Noordin M. Top.
Lurah Desa Kedu, Purnomo Hadi mengungkapkan kejadian ini pasti memiliki efek pada kehidupan warga. “Tapi semoga bukan efek yang buruk, semoga desa ini bersejarah karena bisa menghentikan sepak terjang Noordin,” harapnya.
Sepanjang yang dia tahu, tidak ada orang asing atau pendatang yang menginap di rumah warga hingga berhari-hari. “Kami tidak bisa memantau semua warga, tapi pendataan terhadap warga pendatang terus berjalan,” kata Purnomo. (Dian Ade Permana)

Perajin Bambu Desa Wanurejo

*Perajin Bambu Ukir
Berharap Perluas Pemasaran

MAGELANG (KR) – Perajin bambu ukir di Dusun Gedongan, Desa Wanurejo berharap pemasaran hasil kerajinannya lebih luas. Selama ini, bambu ukir hanya dipasarkan di komplek Candi Borobudur. Jika pun keluar daerah, hanya berlangsung sporadis dan tidak berkelanjutan.
Anto Zaenal Arifin, seorang perajin mengatakan bahwa selama berproduksi sekitar 10 tahun, hasil karyanya hanya dipasarkan di Candi Borobudur. “Mentok di candi, jika pun ada pesanan banyak, tidak pernah berkesinambungan,” ujar Anto kepada KR, Selasa (11/8).
Dia mengatakan pernah berusaha untuk menjual hingga keluar daerah, namun hasilnya tidak menggembirakan. “Di Kiai Langgeng juga tidak laku,” kata Anto. Dia menduga salah satu penyebab ukir bambu tidak diterima masyarakat luas karena motifnya yang monoton.
“Karena kami membuat di sekitar candi, maka motif candi menjadi acuan,” ungkapnya. Selain candi, bentuk wayang dan kaligrafi juga dibuat oleh para perajin. Anto mengharapkan ada pelatihan khusus yang bisa mengembangkan keterampilan dan menambah kreatifitas perajin.
Suradi, perajin lain mengungkapkan dirinya menjual ukir bambu maksimal hingga Yogyakarta. “Mau keluar daerah lagi berat di ongkos,” cetusnya. Pernah, imbuh Suradi, ukir bambu karyanya dijual hingga luar Jawa, namun setelah beberapa waktu, tidak ada kesinambungan.
Dia mengungkapkan selain pemasaran, bahan baku bambu juga mulai sulit dicari. “Mau tak mau, musti mendatangkan dari luar desa agar produksi tetap berjalan,” jelas Suradi. Jika memaksakan bambu yang belum kering, kualitas hasil ukiran menjadi jelek karena kandungan air dalam bambu masih banyak sehingga ketika kering, ukiran akan mengekerut.
Terpisah, Kepala Desa Wanurejo, Dra. Umi Aminah dan Kepala Dusun Gedongan, Soepardi mengatakan pemerintah berupaya melakukan promosi dengan mengikutkansertkan perajin dalam berbagai pameran.
“Kami juga bekerjasama dengan pengelola Candi Borobudur untuk memfasilitasi perajin agar karyanya lebih dikenal masyarakat luas,” pungkas Umi. (Dian Ade Permana)

Wisata Religi Desa Wanurejo

Desa Wanurejo, Garap Wisata Religi

MAGELANG (KR) - Pemerintah Desa Wanurejo Kecamatan Borobudur saat ini mengembangkan wisata religi untuk menarik wisatawan. Adi Winarto, dari Badan Pariwisata Desa Wanurejo mengungkapkan bahwa wisata religi dimulai dari makam pendiri desa, PBH. Tejokusumo, putra Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Adi menuturkan bahwa wisata religi ini dikemas secara paket. “Mulai dari makam PBH. Tejokusumo, bisa dilanjutkan ke para pengikutnya, tergantung permintaan peserta ziarah,” kata Adi kepada KR, Jumat (14/8).
Dia mencontohkan untuk yang menginginkan peningkatan ekonomi, bisa meneruskan ke Eyang Beji. Sementara untuk yang ingin cakap berpolitik dapat mengunjungi makam Citro Lawang. “Semua pengikut PBH. Tejokusumo, 9 orang, makamnya ada di Wanurejo, jika keliling total membutuhklan waktu 1,5 jam,” jelas Adi.
“Jika menginginkan permintaan khusus, ada syarat yang harus dipenuhi sebagai sesaji,” jelas Adi. Sesaji tersebut adalah satu sisir buah raja dan tiga jenis buah, gurame bakar, serta ingkung bakar. Jika peziarah tidak bisa memenuhi, bisa meminta kepada juru kunci untuk menyediakan.
Untuk menyambut peziarah, seluruh juru kunci dan perangkat desa akan memakai busana Jawa. “Kami sangat total untuk wisata religi ini,” tegas Adi. Bahkan untuk ritual khusus, dipilih setiap Jumat Kliwon yang akan dimulai pada 4 September 2009. Meski begitu, juru kunci telah disiapkan jika peziarah datang sebelum ritual.
“Segi spiritual sangat kami jaga, oleh karena itu, peziarah wajib menuruti pesan dari juru kunci,” kata Adi. Fungsi dari juru kunci adalah mediator untuk menyampaikan keinginan peziarah agar terkabul. Jika diiringi niat tulus, peziarah akan mendapat ‘oleh-oleh’ sebagai ‘pegangan’.
Sementara itu, Agus Sumadiono mengungkapkan selain berziarah, ada juga bedug Pangeran Diponegoro yang ada di Masjid Baiturrahman. “Pangeran Diponegoro dan PBH. Tejokusumo masih berkerabat, dalam upaya mengusir penjajah, strategi yang digunakan juga sama,” ungkapnya.
“Wisata religi ini adalah upaya untuk ikut menyangga Candi Borobudur sebagai obyek wisata yang populer,” kata Sumadiono. Menurutnya, wisata religi juga diminati wisatawan mancanegara, terutama Belanda (Dian Ade Permana)

Senin, Agustus 10, 2009

Iwak Kali Laras

Iwak Kali Laras
Karena Beda Bikin Penasaran

Beda. Itulah prinsip pertama yang dipegang oleh Budi Sulistyowati, yang akrab dipanggil Lis (49) ketika membuka Warung Makan Laras, di Jalan Medono, Klebakan, Soropadan, Pringsurat, Temanggung.
Setelah berpikir keras beberapa saat dan usulan Witono, sang suami, menu iwak kali dan menthok menjadi pilihan. “Alasannya, masih jarang yang menjual iwak kali dengan nuansa pedesaan,” cetus Lis kepada KR. Karena menu yang ditawarkan beda, maka konsumen pasti akan memiliki rasa penasaran dan mencoba untuk mengunjungi.
10 November 2007 dipilih sebagai pembukaan Warung Makan Laras. “Satu porsi menu berisi berbagai iwak kali, daun singkong, dan sambal,” ujar Lis. Iwak kali terdiri dari wader, kotes, udang kali, dan melem (sejenis wader namun berukuran besar). Serta ucheng yang dijual terpisah.
“Meski iwak kali dicampur, tapi jika pelanggan menginginkan terpisah juga bisa,” tutur Lis. Untuk daun singkong hanya direbus hingga matang. Sebagai lalapan, imbuh Lis, daun singkong akan lebih lezat jika dikombinasikan dengan rasa yang natural.
Sementara sambal, bisa memilih berdasarkan selera. “Kami menawarkan sambal tomat matang, sambal trasi, atau sambal kosek yang dibuat dari lombok rawit hijau dipadu dengan bawang,” jelas Lis.
Saat ini, iwak kali yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumen mencapai 10 kilogram perhari. “Jika musim liburan, semakin bertambah, apalahi pengunjung keluarga juga banyak,” ungkap Lis.
Untuk menampung penikmat iwak kali, selain bangunan warung induk juga terdapat empat bale-bale. “Sebetulnya kami berencana untuk menambah bale-bale, namun karena setting pertama kali hanya untuk rumah, kami kesulitan mengaturnya,” kata Lis.
“Paling susah saat musim hujan, orang yang menyetori iwak kali tidak mencari karena sungai banjir,” ujar Lis, sembari tertawa. Padahal, kesegaran iwak kali adalah kemutlakan yang tidak bisa ditawar-tawar. Solusinya, Warung Makan Laras hanya menjual sesuai iwak kali yang didapat nelayan.
Terasa nikmat menikmati iwak kali, nasi hangat, sambal dipadu daun singkong, seharga Rp7000. “Selain iwak kali, ada juga rica-rica enthok,” kata Lis. Penasaran?.

Teroris Temanggung

Drama ‘Noordin M. Top’ Berakhir

TEMANGGUNG (KR) – Setelah dikepung selama kurang lebih 17 jam, ‘Noordin M Top’, teroris nomor wahid Indonesia tersungkur terkena peluru pasukan Densus 88. Proses takluknya otak pelaku pemboman di Indonesia itu berlangsung dan mencekam.
Setelah terjadi serentetan tembakan pada Jumat (7/8) malam dan berhenti usai tengah malam, anggota Densus dan Brimob terus berdatangan. Suasana hening pecah pada Sabtu (8/8) sekitar jam 05.00 WIB ketika dua suara desingan peluru diarahkan ke rumah Muhzarin, yang menjadi persembunyian Noordin M. Top.
Tak berhenti disitu, usai tembakan, polisi meledakkan sisi barat rumah Muhzarin. Tak kurang terjadi lima kali tembakan dari atas bukit dan sebelah barat rumah Muhzarin. Pada penembakan pukul 08.15 WIB dan 08.30 WIB polisi bahkan menggunakan senapan mesin.
Tembakan anggota polisi itu berselang-seling dengan ledakan-ledakan kecil. Meski tidak merubuhkan sisi barat rumah, namun terlihat asap pekat mengepul dan memecahkan kaca jendela serta genting-genting berjatuhan. Dari catatan KR, terdapat lima kali ledakan. Pada ledakan yang terakhir, pukul 09.27 WIB, polisi langsung merangsek ke pintu depan rumah dan melakukan serangan.
Pasca masuknya polisi ke dalam rumah ini, terdengar rentetan tembakan. Tak ayal, polisi kembali berhamburan keluar. Penyisiran dari samping rumah pun dilakukan. Gerakan polisi menuju belakang rumah.
Dalam sebuah momentum, tiga orang anggota polisi mendobrak pintu belakang dan terdengar tembakan berulang kali. Tak lama berselang, anggota yang lain memeriksa dalam rumah. Drama berakhir. Teroris dalam rumah dipastikan meninggal.
Meski begitu, hingga saat ini kepolisian tidak bisa dikonfirmasi mengenai identitas orang didalam rumah. Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang meninjau langsung penggerebakan langsung meninggalkan Temanggung tak lama usai proses evakuasi berlangsung.
Jumlah korban pun masig simpang siur. Meski terlihat membawa dua kantong mayat, namun terlihat yang digotong hanya satu jenazah. Setelah evakuasi berlangsung, polisi langsung memasang police line
dan menggeledah rumah Muhzarin. Polisi melakukan identifikasi dan terlihat membawa beberapa barang keluar dari rumah tersebut.

Rabu, Agustus 05, 2009

perajin bambu kesulitan bahan baku

Perajin bambu keluhkan bahan baku


Perajin bambu wulung di Sidodadi, Tegalrejo mengeluhkan minimnya bahan baku untuk memproduksi mebel. Pasalnya saat ini, pesanan dari konsumen terus mengalami peningkatan.

Salah seorang perajin, Supardi mengatakan saat ini hampir setiap minggu memperoleh order sedikitnya satu set mebel. “Jika tidak segera dikerjakan, kami khawatir pelanggan akan berpaling,” ujarnya kepada KR, Senin (3/8). Satu set mebel terdiri dari sebuah meja, kursi panjang, dan tiga kursi pendek dijual seharga Rp450 ribu.

Padahal, untuk memperoleh bambu wulung berkualitas baik harus berusia minimal dua tahun. “Itu juga harus ditebang pada bulan April atau Mei dan musim peteng atau tidak bulan purnama,” kata Supardi. Jika ditebang saat bulan purnama, kualitas bambu tidak baik karena termakan rayap.

“Selama ini bambu diperoleh dari sekitaran Magelang,” ungkap Supardi. Jika terus ditebang tanpa perhitungan, maka kualitas bambu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bambu yang masih muda apabila dibikin mebel akan mudah mengkerut dan tidak awet.

Para perajin mencoba mengantisipasi dengan menyetok bambu. “Tapi karena pesanan datang terus menerus, tetap saja kebutuhan itu kurang,” jelas Supardi. Apalagi pemasaran mebel bambu tidak hanya di seputaran Jawa Tengah dan DIY, tapi merambah Kalimantan dan Palembang. Pasar luar negeri juga pernah dicoba, tapi karena pengemasan tidak baik, bambu menjadi pecah.

Lebih lanjut, untuk membuat mebel dibutuhkan minimal 10 batang bambu yang berukuran besar. “Karena masih manual, waktu pembuatan sekitar satu minggu,” tandas Supardi. Lamanya waktu pembuatan ini dikarenakan mebel bambu membutuhkan ketelitian dan kekuatan.

Supardi mengungkapkan pemasaran kerajinan mebel bambu wulung ini bersifat individual. “Hanya langganan lama yang masih mengambil barang, selain itu pembuatan juga berdasar pesanan konsumen,” tandas dia.

Darsih..terbang dengan layang-layang

Darsih, biayai kuliah anak dari layang-layang


Deretan layang-layang aneka warna itu tersusun rapi di pinggir Jalan Raya Magelang-Yogya. Seorang perempuan baruh baya terlihat berungkali merapikan layang-layang yang lepas dari tali pengaitnya.
Darsih (52), nama perempuan itu, warga Blondo, Gedongan yang sudah 10 tahun menjual layang-layang kain di tepi jalan. Meski mengakui penghasilan dari menjual layang-layang tidak begitu besar, namun karena ketekunannya, tiga orang anaknya kuliah dengan biaya yang berasal dari layang-layang.
“Dua orang anak laki-laki di UGM dan yang satu perempuan di IKIP Jogja,” kata Darsih. Ketiganya saat ini sudah lulus dan bekerja. Dia mengatakan anaknya sempat melarang untuk berjualan di tepi jalan, tapi demi memenuhi kebutuhan rumah tangga, dia tetap memproduksi layang-layang kain.
Darsih mengatakan membuat layang-layang kain tidaklah sulit. “Bahan utamanya cuma bambu dan kain,” jelas Darsih. Proses pembuatan juga berlangsung singkat. Bambu sebagai rangka dibersihkan dan dipotong sesuai ukuran yang diinginkan.
Sementara kain parasit dipotong mengikuti pola bambu yang sudah terbentuk. “Setelah kain dan bambu tersedia, tinggal dilem dan dikasih kepala.,” jelasnya. Saat ini, kepala naga dan kepala burung menjadi favorit pembeli yang kebanyakan berasal dari luar kota.
“Untuk kepala bahan dari spon berukuran dua mili,” ungkap Darsih. Kepala yang menjadi maskot layang-layang ini dibuat oleh Midwaluddin, suami Darsih. Jika membeli kepala yang sudah jadi, harganya Rp5000 per kepala.
Ketika kain dan rangka serta kepala sudah menyatu, maka tinggal dilakukan finishing dan mengikat layang-layang agar mudah diterbangkan. “Tahap akhir pengerjaan juga dilakukan sendiri, meski kadang untuk mengecat membutuhkan bantuan orang lain,” tutur Darsih. Ongkos pengecatan berkisar antara Rp1000 hingga Rp5000.
Pendapatan Darsih yang berjualan sejak pukul 09.00 WIB ini tidak menentu. “Kadang sehari laku empat, kadang tidak laku, tapi paling ramai jika musim liburan dan banyak mobil dari luar kota,” tandas Darsih. Layang-layang kecil dijualnya Rp10.000. Sementara ukuran satu meter seharga Rp40ribu.

Sabtu, Juli 25, 2009

Ada cerita tentang kemarin.....

Ruangan itu tidak terlalu besar. Bahkan termasuk sumpek sebagai tempat berkarya bagi 40 orang. Tapi inilah ruangan tempat berkarya selama 15 bulan, Mei 2008 hingga Juli 2009. Deretan komputer yang tersusun rapi. Lembaran kertas yang tergeletak. Tak terurus meski tiap hari dibersihkan.
Meski tanpa sekat, tapi penguasaan atas komputer itu sangat jelas. Diluar, lobby, sarana penggemar rokok untuk menghembuskan asap. Tak jarang beralih fungsi untuk menghempaskan kegalauan dan saling meracau tentang perkembangan hari ini.
Padatnya aktifitas dimulai sedari sore, 15.00 WIB hingga dini hari menjelang. Didepan komputer dan terus berkonsentrasi. Dering telepon terus mengusik ketenangan. Teriakan untuk melengkapi kekurangan pekerjaan musti diselesaikan dalam waktu singkat. Waktu adalah musuh yang tak bisa dikompromi.
15 Bulan memang waktu yang sebentar. Tidak lama. Tapi cukup untuk “membantu membentuk karakter” dan mengenali dunia yang aku impikan. Dunia yang sekiranya dalam angan-angan, teraih dalam ketidaksengajaan. Ceritanya, pada satu kesempatan bertandang ke tempat tersohor di Salatiga, aku tertarik membaca koran yang dilanggani tersohor itu.
Diantara kolom-kolom beritanya, terselip info dunia yang kuimpikan membutuhkan tenaga-tenaga muda untuk mengkaryainya. Tanpa pikir panjang, segera kususun segala syarat untuk memenuhi klasifikasi. Setelah beberapa proses terlalui, aku menjadi bagian dari dunia ini. Karena keawaman pada dunia ini, 20 orang muda dikumpulkan di villa yang ada di Kaliurang. Pengetahuan dan pemantapan.
Tak butuh waktu lama, bergelut dan turun langsung merasakan langsung mimpi-mimpi sebuah idealisme. 20 Mei 2008, institusi tempat berkarya menyapa penduduk DIY pada edisi perdananya. Karena kebaruan itu, gejolak dinamika mememenuhi individu. Kegagapan, nampak disetiap wajah. Tapi tetap harus bertahan.
Kegelisahan memuncak. Kawan-kawan menghilang. Satu persatu. Generasi Kaliurang terus menepis. Perbedaan visi-misi, mungkin. Tak mampu menahan amarah, bisa jadi. Tak kuat dengan kerja beginiian, ada juga.
Aku, meski merasa kehilangan, mencoba mengamini keadaan. Mencoba merubah dan berubah. Bertahan dengan segala daya upaya. Tak lagi berpikir egoisme. Menepikan kegalauan. Pada titik ini, tetap merasa bisa lebih baik. Pergulatan terus memaksa untuk berseberangan. Meski tak tersampaikan, terbaca. Meski bungkam, terlihat. Pergeseran demi pergeseran membuka cakrawala dunia baru. Pengetahuan dan ilmu baru.
Terkadang ada kejenuhan melanda. Pada sebuah kewajiban memenuhi tanggung jawab sebagai laki-laki, membuang segala jenuh dan bosan. Apa daya, rutinitas di tanggal 28 setiap bulan adalah hari yang paling dinanti.
Tiba pada suatu hari, sisi emosional memenuhi ruang hati dan pikiran. Meski telah memperhitungkan segalanya, tetap harus menempuh resiko. Spekulasi akan sebuah masa depan. Semoga kita bertemu pada sebuah keadaan yang lebih baik...terima kasih untuk semua yang telah memperkaya diri ini hingga mampu menjadi seperi saat ini...
perpisahan adalah keniscayaan tanpa perubahan. pembicaraan untuk sebuah solusi hanya akan tercapai pada saat berdiri pada posisi yang sama. ada sakit dan bulir luka yang akan membekas, tapi akan tersembuhkan....

Jumat, Juli 24, 2009

Sea Food Kondang


*Sea food Kondang
Kompromikan kemahalan sea food

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Sea food identik sebagai makanan yang berharga mahal. Namun ditangan Yohanes, pemilik Sea Food Kondang yang terletak di Jalan Diponegoro, menu dijual dengan harga berkisar Rp10 ribu agar sea food bisa dinikmati semua golongan. Menurut dia, harga Rp10 ribu adalah harga kompromi.
Berawal dari 1998 ketika krisis melanda Indonesia, dia yang terombang-ambing tidak memiliki pekerjaan iseng-iseng melontarkan ide untuk membuka warung makan. “Ternyata papa saya, Gunawan, mau membantu, meski telah lama tidak masak,” jelas Yonahes.
Meski warungnya berdiri diatas trotoar, namun konsumen rela antri berjam-jam. “Jika tidak mau antre, biasanya siang hari menelepon dan janjian akan mengambil jam berapa,” ungkap Yohanes. Dia juga melayani pesanan delivery.
Kesegaran bahan baku adalah kunci Kondang Sea Food untuk mempertahankan konsumen. “Tiap hari ganti bahan, bahkan untuk kepiting dan gurami harus pesan dahulu,” jelasnya. Dia mengatakan karena warung berada di kaki lima, maka sistem pendinginnya tidak terlalu bagus, jika dipaksakan, malah mengecewakan pelanggan.
Yohanes mengungkapkan menu yang banyak dipesan adalah sop asparagus, sop sze chuan, dan udang. “Meski ada daftar menu dengan berbagai varian, konsumen juga bisa memesan sesuai keinginannya,” ungkap pria berambut gondrong ini. Dia mencontohkan cumi lombok ijo yang didaftar menu tidak ada, namun karena diinginkan konsumen, tetap memperoleh pelayanan.
“Meski berharga murah, kami tidak akan bermain-main dengan resep,” tegas Yohanes. Sejak pertama kali membuka Kondang, resep dan bumbu tetap dipertahankan. Menurut Yohanes, kunci kenikmatan setiap masakan adalah bahan baku dan komposisi bumbu yang serasi. Jika ada yang berubah, maka rasa dipastikan berbeda. Apalagi dimasak oleh tangan yang berbeda.
Dia mengungkapkan bahwa sejatinya keterampilan memasak diperolehnya secara otodidak. “Namun tetap belajar dari teman papa dan teman kakek,” buka Yohanes. Meski dilahirkan dari keluarga koki, Yohanes mengaku tidak pernah mendapat pelajaran memasak langsung dari orang tua dan kakeknya.
Menyadari konsumen semakin bertambah dan warung kaki lima tidak bisa lagi menampungnya, Yohanes mengatakan akan memindah Kondang ke kediamannya, di Jalan Arimbi, Babadan akhir tahun ini. “Setelah pindah ke rumah, tentu menu akan semakin lengkap, karena fasilitas pendukung tersedia,” jelasnya.
Penasaran dengan sea food seharga Rp10 ribu? Datang ke Jalan Diponegoro, depan Pasar Kranggan mulai pukul 18.00 WIB.

Rabu, Juli 15, 2009

Rumah Perca


Dari perca meraih untung

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA


Limbah seringkali dipandang sebelah mata. Dibuang dan hilang ditelan alam. Tapi ditangan-tangan kreatif, limbah adalah sumber inspirasi yang mendatangkan keuntungan. Dari tak bernilai menjadi berharga.
Salah seorang yang jeli melihat peluang tersebut adalah M. Mahmudha, pemilik Rumah Perca. Di awal 2005, dia yang mulanya berjualan Ponsel, melihat peluang usaha dari sisa bahan kaos di perusahaan konveksi.
“Sisa kaos itu paling dibuat keset dan lap meja,” jelas Mahmud, panggilan M. Mahmudha, di show room Rumah Perca, Jalan K.S Tubun, Rabu (15/7). Merasa 'kelas' limbah kaos itu bisa dinaikkan, Madmud mulai melakukan inovasi.
Pemanfaat yang dilakukan Mahmud adalah menata ulang perca dari bahan kaos. “Awalnya cuma saya bikin sprei dan bed cover,” jelas bapak dua anak ini. Pemasaran masih sangat terbatas. Dia mengaku hanya mendaur ulang perca untuk menjadi 'selimut' bagi barang-barang yang sudah familier di masyarakat.
Keinginan untuk menciptakan hasil kerajinan baru sempat terbesit, namun ketika ditawarkan, tidak memperoleh respon. “Kita kembali ke barang-barang yang sudah dikenal,” jelas Mahmud. Setelah produk buatannya diterima, Mahmud mulai membuat pernak-pernik sesuai permintaan pasar.
“Mulai dari tas, dompet, tempat Ponsel, dan bantal.” ujar Mahmud. Harga yang ditawarkan mulai Rp15 ribu hingga Rp300 ribu. Dia hanya menggunakan perca dari bahan katun untuk menjaga kualitas produk buatan Rumah Perca.
Proses pembuatan kerajinan perca ini tidak rumit. “Perca dari pabrik konveksi dipilah sesuai warna kemudian dipotong hingga ukuran maksimal yang dapat digunakan,” tambah Mahmud. Setelah itu, disusun sesuai motif yang diinginkan. Kemudian dipola dan dijahit.
Saat ini, Rumah Perca mempekerjakan 23 orang yang terbagi dalam divisi pemotongan dan penjahitan. “Karyawan memiliki spesialisasi sendiri-sendiri,” tandas Mahmud. Untuk bahan baku perca, dia tidak pernah merasa kesulitan karena di Jogja bertebaran pabrik konveksi.
“Kendalanya adalah modal dan pemasaran,” buka Mahmud sembari tersenyum. Sebagai media promosi, Rumah Perca yang sudah dipatenkan ini, terus aktif ikut dalam pameran. Dia mengaku belum all out menggeber Rumah Perca karena masih memperhitungkan antara permintaan dan kemampuan produksi.
Dia menambahkan bahwa kerajinan perca ini berusaha untuk memproduksi barang hingga tidak menyisakan limbah. “Kita mendapat limbah perca dan diolah menjadi barang kerajinan,” terang Mahmud. Sisa limbah dari Rumah Perca dikirim lagi ke Jawa Timur dibuat sarung tangan.

Komunitas sepeda tinggi


*Komunitas Pecinta Sepeda Tinggi
Sepeda anti global warming

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA


Pemanasan global menjadi menjadi kekhawatiran manusia. Segala upaya untuk melawannya terus dilakukan. Yang biasa dilakukan, manusia mengurangi polusi. Seperti yang dilakukan oleh Komunitas Pecinta Sepeda Tinggi (KPST) Jogja.
Menurut Sono, seorang penggiat KPST Jogja, pada awal mula berdirinya hanya ada lima orang yang memiliki sepeda tinggi. Ide penggunaan sepeda tinggi ini bermula pada 2007, ketika Ciclown Circus yang anggotanya dari Amerika Serikat dan Itali, mengunjungi Indonesia.
“Ciclown Circus mengadakan workshop, seorang anggotanya, Piero, tinggal di Indonesia,” jelas Sono dalam sebuah perbincangan di Jogja National Museum, Rabu (15/7). Setelah mendapatkan ilmu dari Piero, lima orang ini terus berkampanye dengan berkeliling kota Jogja.
Sono mengungkapkan sebelum beralih ke sepeda tinggi, kebanyakan anggota KPST menggunakan sepeda jenis low rider. “Setelah mencoba sepeda tinggi, terasa nyaman, keterusan dan jumlah penggunanya terus bertambah,” kata Sono. Saat ini, jumlah pengguna sepeda tinggi ada 24 orang dan berkumpul setiap Sabtu malam di Tugu.
Karena tidak ada pabrik yang memproduksi sepeda tinggi, maka pemiliknya harus merancang sendiri. “Tidak mahal dan tidak sulit, karena menggunakan rangka bekas yang dibeli kiloan di tukang rosok,” kata Sono yang juga artis tato ini. Sebuah sepeda tinggi biasanya terdiri dari dua rangka yang disusun keatas.
Setelah ada dua rangka, pemiliki langsung mengelas sepeda sesuai keinginan. “Yang penting tetap harus nyaman dan aman,” kata pemuda berpierching ini. Begitu juga bentuk stang dan kontruksi lainnya, sesuai dengan keinginan pemilik.
Sono mengungkapkan kegiatan anggota KPST adalah berkampanye untuk mengurangi polusi. “Kita pernah bersepeda hingga ke Jakarta,” jelas Sono. Ada tiga orang yang bersepeda hingga Jakarta, yakni Sono, Yoyok, dan Janto. Untuk bersepeda massal, anggota KPST pernah berkunjung ke Salatiga.
“Naik sepeda tinggi lebih ada sensasinya, lebih tinggi jadi bisa lihat keadaan sekitar lebih luas,” ungkap Sono. Selain ramah lingkungan, sepeda tinggi menjadi transportasi alternatif baru yang menarik bagi kalangan muda.
KPST bertekad untuk terus melestarikan budaya bersepeda di Jogja. Sono mengatakan dengan menggunakan sepeda tinggi akan lebih menarik perhatian masyarakat dengan demikian kampanye anti global warming akan efektif.
Karena unik, komunitas ini pernah pernah terlibat dalam acara Wira-Wiri yang ditayangkan Trans7 dengan pembawa acara komedian Komeng dan Adul.

Kamis, Juli 09, 2009

Panwaslu DIY dianggap over acting

*Saksi SBY-Boediono dituduh curang
Panwas dianggap over acting

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

JOGJA : Tim Kampanye Daerah DIY pasangan SBY-Boediono menganggap Panwaslu DIY bertindak mengada-ada dan over acting dengan mengatakan saksi di TPS 13 dan 14 Dusun Tegalrejo, Goni, Wonosari, Gunungkidul telah berbuat curang.
Iwan Satriawan, kuasa hukum Tim Kamda SBY-Boediono, menuntut kepada Panwaslu untuk mengklarifikasi dan menarik ucapannya tersebut. “Kata curang itu memiliki dampak negatif, Panwaslu hanya mencari sensasi,” ujar Iwan di Kantor DPD Partai Demokrat DIY, kemarin.
Dia mengancam apabila Panwaslu tidak mencabut ucapan tersebut, akan melapor ke Bawaslu. “Jelaskan letak kecurangannya, ucapan tersebut tidak sesuai fakta,” tegas Iwan. Menurut Iwan, tuduhan perbuatan curang tersebut telah mencemarkan nama baik serta kemenangan SBY-Boediono dalam pemilihan presiden.
Putut Wiryawan, Wakil Sekretaris DPD Partai Demokrat DIY, menjelaskan perbuatan yang dituduhkan Panwaslu itu bermula ketika saksi SBY-Boediono menjalankan ibadah shalat dluhur. “Usai shalat, dia melihat saksi pasangan lain mendatangi KPPS yang meminta tanda tangan untuk formulir,” kata Putut. Usai ditandatangani KPPS, saksi dari tim capres lain melapor ke Panwaslu.
Dia menambahkan bahwa saksi untuk SBY-Boediono telah memperoleh training internal. “Dan yang dibawa oleh saksi tersebut adalah formulir yang digunakan untuk kepentingan internal, bukan diserahkan kepada pihak luar,” tegas Putut.
Meski demikian, dia tidak membantah bahwa formulir internal tersebut sama dengan yang digunakan oleh KPU. “Itu untuk internal, kenapa dipermasalahkan bahkan menuduh telah berbuat curang, Panwaslu melakukan dramatisasi,” jelas Putut. Dia menilai Panwaslu telah bertindak gegabah dengan mengeluarkan pernyataan perbuatan curang tersebut.
Sementara itu GBPH. Prabukusumo, Ketua DPD Partai Demokrat DIY, mengaku telah berpesan kepada jajarannya untuk mengikuti proses Pemilu dengan jujur dan santun. “Kami tidak akan berbuat diluar aturan yang telah ditetapkan,” kata Prabukusumo.
Untuk hasil pemilihan presiden sendiri, Prabukusumo mengatakan SBY-Boediono mendapatkan suara 1.204.304. “Diikuti Megawati-Prabowo 548.586 dan JK-Win 199.750,” pungkasnya

Putro Wayang


*Putro Wayang
Pertahankan semangat bertahan

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Tak bisa dipungkiri, wayang saat ini terpinggirkan oleh budaya pop. Peminatnya semakin menipis. Minat masyarakat untuk menonton wayang kulit terus menurun. Jika pun ramai, didominasi oleh orang-orang yang tak lagi muda. Jika tidak segera diselamatkan, maka wayang akan semakin tergerus.
Salah seorang yang tetap bertahan mempertahankan wayang adalah Danang Sulistyo, pemilik Putro Wayang yang terletak di Jalan Patehan Lor, Jogja. Bagi Danang, menghidupkan wayang kulit agar tetap lestari adalah kemutlakan.
Ditemui di show room Putro Wayang, Danang mengatakan keahlian membuat wayang berasal dari orang tuanya. “Bapak saya, Nahrowi, adalah orang yang pertama kali mengenalkan wayang, ujar Danang. Dia mengakui, awalnya tidak tertarik dengan dunia perwayangan. Bahkan ketika sekolah, Danang memilih di STM jurusan Mesin.
Namun kesadaran untuk mempertahankan wayang kulit akhirnya datang juga. “Sejak tujuh tahun lalu saya mengelola Putro Wayang agar lebih tertata,” kata Danang. Dizaman orang tuanya, pemesan wayang terbatas hanya diwilayah DIY.
“Setelah Putro Wayang berdiri, kami pernah bekerja sama dengan konsumen dari Perancis,” bangga Danang. Namun karena keterbatasan bahan baku, sementara pesanan terus berdatangan, kerjasama itu terpaksa diakhiri.
Dia menambahkan meski terasa berat, tapi semangat untuk mempertahankan wayang terus dipupuknya. “Nanti anak saya juga akan saya beri pelajaran mengenai wayang,” tandas Danang. Menurut pria lajang ini, filosofi yang terkandung dalam wayang membuatnya terus bersemangat untuk mempertahankan kelestarian wayang.
Danang mencontohkan bahwa wayang kulit itu hanya keluar dari kotak jika dimainkan oleh dalang. “Selesai main, masuk lagi dalam kotak, sama seperti saat kita meninggal,” ungkapnya. Selain itu, setiap lakon yang dimainkan, pasti bersinggungan dengan jalan kehidupan manusia. Pelajaran-pelajaran tersebut termuat dalam jalinan cerita.
Karena kerumitan yang terkandung dalam cerita dan pembuatan, wayang kurang memperoleh apresiasi dari anak negeri yang mendewakan pragmatisme. “Konsumen saya 80% dari luar negeri,” kata Danang. Karena pakem yang begitu kuat, detil pembuatan ukiran dalam tubuh wayang pun tidak boleh melenceng dari aslinya.
Untuk bahan terbaik Danang mendatangkan kulit kerbau dari Jakarta dan Toraja. “Kalau yang dari Jawa, kerbau dibuat membajak sawah, jadi kulitnya rusak,” terang Danang. Pesanan kulit datang tidak menentu, tergantung order pembuatan wayang kulit.
Proses pembuatan wayang kulit kualitas terbaik membutuhkan waktu sekitar tiga minggu. “Jika satuan, harga mulai Rp200 ribu hingga jutaan, tergantung ukuran dan kualitas kulit yang digunakan,” tandas Danang. Harga satu kotak dengan karakter lengkap mencapai Rp150 juta hingga Rp300 juta.
Semangat untuk terus bertahan digenggam oleh Danang. Optimisme membuncah menemani langkahnya melestarikan wayang agar tidak punah. Bagaimana dengan anda?

Survive! Day


*Survive! Day
Acara reuni seniman marjinal

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

MANTRIJERON : Seniman tato dan seniman cetak berkumpul di Roommate Visual Art, kemarin. Menurut Bayu Widodo, penggiat Survive! Art Community, kegiatan ini adalah rangkaian pameran Memories on Print.
Bayu mengatakan kegiatan workshop tato dan sablon itu untuk mengisi kekosongan waktu pameran. “Masyarakat jenuh jika pameran hanya begitu-begitu saja, kami mencoba mengisi dengan kegiatan lain untuk meningkatkan kreatifitas,” ujar Bayu, kemarin.
Enam seniman tato yang menggelar workshop adalah Sono, Bendol, Kampret, Ibas, Codet, dan Eman. Sementara seniman cetaknya, Simo. “Mereka semua berasal dari Jogja, dan memiliki spesialisasi tersendiri dalam tato,” tegas Bayu. Dengan berkumpulnya seniman ini, diharapkan dapat menggairahkan seni di Jogja.
Bagi Bayu, tato hingga saat ini masih dianggap bermasalah orang masyarakat. “Apapun, tato adalah budaya dan seni, bahkan di Kalimantan tato adalah lambang kebudayaan,” jelas Bayu. Dengan terus menggelar workshop, diharapkan pandangan masyarakat terhadap tato bisa berubah.
“Semua seniman tato yang terlibat mementingkan kualitas dan kebersihan,” tandas Bayu. Karena pandangan masyarakat terhadap tato cenderung negatif, pekerja seni tato terus berupaya merubah 'prosesi' mentato agar sesuai dengan standar kesehatan. Misal dengan satu jarum untuk satu tato.
Dia menambahkan seniman yang terlibat dalam workshop telah lama berkarya sendiri. “Survive! Day ini adalah bagian dari reuni setelah semua berkeliling Indonesia,” ungkap Bayu. Namun karena terdorong untuk kembali membangun kekuatan komunal, seniman ini dipersatukan lagi.
Sementara itu, selain menggelar Survive! Day, Jumat (10/7) ini, Bayu Widodo dan Sutrisno Prianggodo, kurator Memories on Print, mengadakan artis talk mengenai karya-karya yang dipamerkan. “Mengenai residensi saya selama di Australia,” kata Bayu. Acara yang dimulai pukul 15.00 WIB ini terbuka untuk umum.

Rabu, Juli 08, 2009

Mbah Surip


Mbah Surip, I Love You Full

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA


JOGJA : Tak gendong kemana-mana 3x
Mantep dong enak dong
Daripada naik pesawat kedinginan
Mendingan tak gendong ayooooooo
Tak gendong kemana -mana3x
Mantep dong enak dong
dari pada naik taksi kesasar
mendingan tak gendong
where are you going
oke I am hoking
Lirik lagu yang dipopulerkan Mbah Surip ini terdengar akrab beberapa waktu belakangan. Dengan rambut gimbal panjang, topi dan rompi senantiasa mendampingi penampilannya. Tak ketinggalan, sebuah gitar yang sudah butut sebagai teman setia.
Tawa khas mengiringi pesona lelaki tua ini. Tanpa ada cemberut dan selalu tertawa. Selalu mengucap “I Love you full.” Tak pernah jelas ada maksud kata-kata itu. Bagi dia, itu hanya ungkapan rasa sayang antar sesama untuk terus menggelorakan perdamaian.
Dikenal sebagai seniman jalanan di Jakarta. Kantong-kantong seni selalu disambangi. Mulai dari Ancol hingga Wapres Bulungan. Menilik latar belakang Mbah Surip, dia dilahirkan di Mojokerto, 5 Mei 1949 dengan nama Urip Ariyanto.
Sebelum memutuskan menjadi seniman, Mbah Surip pernah bekerja di pengeboran minyak dan melalang buana di luar negeri, mulai dari Kanada, Texas, hingga Yordania. Tapi tarikan kehidupan untuk mengabdi di kesenian membuatnya meninggalkan profesinya.
Tak Gendong bukanlah lagu pertama yang dipopulerkannya. Di 1997 dia mengeluarkan album, Ijo Royo-royo. Berturut-turut, Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003) dan Barang Baru (2004). Lagu Tak Gendong sendiri diciptakan 1983 saat berada di Amerika Serikat. Mbah Surip yang bergelar MBA ini tercatat di Museum Rekor Indonesia untuk kategori menyanyi terlama.
Bagi sebagian orang, dia adalah Manusia Indonesia Sejati karena tidak pernah merasa susah, tidak gelisah, tidak sedih dan selalu tertawa. Mbah Surip mengatakan yang terpenting dalam hidupnya adalah gula dan kopi.
Dalam sebuah perbincangan di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta medio 2007, Mbah Surip mengatakan jadi orang itu harus selalu damai. “Jangan dendam, damai, haha..ahahha..i love you full,” kata Mbah Surip.
“Gak perlu susah, haahah..hahaha, sing penting ono kopi,” pinta Mbah Surip. Soal tawanya yang menggelagar, Mbah Surip hanya berkata 'embuh.' Begitu ringan Mbah Surip menjalani kehidupan. Seringan ketika dia menghibur penonton. Penuh gelak tawa.
Lirik lagu yang sederhana adalah kekuatan Mbah Surip untuk terus membaca keadaan sosial lingkungan dan negaranya. Menggunakan syair yang lugas dan terinspirasi dari sekeliling. Selalu mengajak untuk peduli dan bergerak berjuang demi perubahan.

Ketan hitam suguhan kemenangan SBY-Boediono


Ketan hitam suguhan kemenangan SBY-Boediono

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Hasil quick count yang memenangkan pasangan SBY-Boediono disambut dalam suasana yang sederhana di kediaman Boediono, Sawitsari, Condongcatur, Depok, Kabupaten Sleman, kemarin. Sebuah tenda dipasang di depan rumah. Boediono duduk disamping Rizal Mallarangeng. Dengan terus tersenyum dia menerima ucapan selamat dari sejawatnya.
Layar televisi berukuran besar terus menyajikan hasil quick count. Diseberangnya, makanan dengan menu 'seadanya' dihidangkan buat para tamu. Ada bubur ketan hitam dan bubur sagu. Di meja sebelahnya, wedang roti.
Dihalaman rumah, Herawati, istri Boediono yang memakai daster warna coklat tak henti-henti bersalaman. Ciuman di pipi entah sudah berapa kali dia layangkan. Sementara anggota keamanan terus berjaga dan mengawasi para tamu.
Hasil yang menempatkan SBY-Boediono unggul tidak menjadikan mantan Gubernur BI ini lupa dengan para pesaingnya, pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto. Bagi Boediono, pemikiran kedua pasang kompetitornya itu tetap harus diakomodir.
“Karena pemikiran yang baik, maka lahirlah demokrasi yang baik,” ujar Boediono. Jika memang terpilih, imbuh Boediono, dirinya akan mempertimbangkan pemikiran pesaingnya itu untuk dijalankan. Pemikiran tersebut dipandangnya telah memberi andil besar terhadap proses demokrasi di Indonesia hingga mampu berkembang dengan baik.
Boediono mengatakan bahwa pemikiran pasangan Mega-Pro yang mengusung isu kesejahteraan rakyat harus dijalankan untuk terciptanya kemakmuran. “Begitu juga dengan JK-Wiranto yang telah memberi rakyat pilihan,” kata Boediono.
“Tawaran-tawaran program dari para capres-cawapres semua bagus sehingga menguatkan mutu demokrasi, kami mengucapkan terimakasih kepada mereka semua atas pemikirannya untuk kesejahteraan rakyat dan kami siap untuk mempertimbagkan,” katanya.
Mengomentari hasil quick count, Boediono menegaskan bahwa hasil dari KPU-lah yang menentukan. “[Quick count] itu belum pasti, tunggu hasil resmi dari KPU,” kata Boediono. Dia mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara Pemilu, termasuk TNI dan Polri, yang telah melaksanakan tugas hingga pemilihan bisa berjalan dengan aman dan tertib. Bagi Boediono, setelah hasil Pemilu diketahui, semua pihak musti menjaga keakraban sebagai satu bangsa.
Rizal Mallarangeng mengatakan setelah memantau hasil quick count Boediono segera beristirahat. “Besok [hari ini] baru ke Jakarta,” pungkasnya.

Selasa, Juli 07, 2009

Bhumi Rasta Merdeka Permana


Bhumi Rasta Merdeka Permana,
22 Juni 2009, 15.41 WIB

lahir di waktu Ibu Kota Negara ini merayakan ulang tahunnya..
ditengah gegap gempita para calon presiden dan wakilnya meraih simpati untuk menggalang dukungan agar menjadi pemimpin Republik Indonesia..
lihat itu nak, mereka yang mengaku sebagai pemimpin dengan arogan mengaku karena 'dirinyalah' negara ini menjadi seperti ini..padahal, asal kau tahu nak, negara ini jauh dari kata baik. kata suci "Demokratis" yang diagungkan pun, tampaknya jauh dari harapan..
tidak..aku tidak ingin engkau seperti mereka, jadilah yang kau mau..jadilah manusia yang berarti untuk orang tuamu..itu saja. tak kan ada beban agar kau menjadi miniatur seperti mereka..jadilah merdeka nak..engkau Merdeka untuk menentukan dirimu sendiri..
lakukan kemerdekaanmu dengan tanggung jawab..
MERDEKA!!!!!!!

Berita : Mingguan


*Simoeh Car Leather
Berkembang karena kritik

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Sebagian orang merasa alergi dengan kritik. Karena merasa sempurna, maka kritik tidak akan diterima. Tapi tidak semua kritik itu jelek. Karena dengan memperoleh kritik, berarti masing ada yang kurang. Prinsip inilah yang dipegang oleh Muhammad Istadi alias Simoeh, pemilik Simoeh Car Leather.
Bagi dia, karena sering dikritik, usahanya saat ini menjadi berkembang. “Bahkan awal mula berdirinya Simoeh Car Leather ini, sering tidak dibayar konsumen,” kata Simoeh, di bengkelnya, Jalan Palagan Tentara Pelajar, Selasa (7/7).
Di 1999, jelas Simoeh, dia menjalankan usaha kayu, mebel, dan jok mobil. “Saat itu tidak ada yang ditekuni, tapi semua dicoba,” ujar Simoeh. Dia melirik usaha jok mobil karena melihat di Jogja pada saat itu tidak ada usaha serupa. Kalaupun ada, hanya sekelas kaki lima dan tidak digarap dengan serius.
Semakin tahun, banyak konsumen yang berdatangan. “Mulanya hanya ada empat orang karyawan yang bekerja serabutan,” kata jebolan UII ini. Karena pesanan terus menumpuk, penambahan karyawan tak terelakkan. Setelah 10 tahun, karyawan Simoeh Car Leather berjumlah 30 orang dengan spesialisasi masing-masing.
“Promosi dari konsumen ke konsumen,” jelas Simoeh. Awal mula, untuk satu mobil membutuhkan waktu penggarapan tiga hingga empat hari. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih, dalam satu hari bisa menyelesaikan tujuh mobil.
Simoeh mengungkapkan semua bahan baku dan peralatan distok dari Jakarta. “Mulai dari mesin jahit khusus jok, kulit pembungkus, lem dan benang didatangkan dari Jakarta,” ungkapnya. Dia mengaku tidak pernah mengalami kesulitan untuk pengadaan barang karena hanya dalam tempo satu hari pesanan sudah terkirim.
“Komitmen kami adalah menjaga kualitas dan persaingan harga,” tandas Simoeh, ketika ditanya resep usahanya bisa bertahan. Bahkan untuk menegaskan menjaga kualitas pekerjaan, Simoeh tidak segan-segan turun langsung mengontrol pekerjaan karyawannya. Dengan begitu, segala kekurangan dapat segera dibenahi dan komplain dari konsumen teratasi.
Simoeh menganggap perfectsionist adalah kunci dari bisnis yang dijalankannya. “Jika ada kekurangan, pasti akan mendapat teguran dan kritik, kami berusaha meminimalisir kesalahan,” ungkapnya. Bagi dia, promosi melalui konsumen adalah media yang paling efektif. Oleh karenanya, dia berusaha tidak membuat kesalahan dalam memberi pelayanan.
“Kami berusaha untuk pro aktif dalam menyelesaikan setiap keluhan konsumen,” tutur Simoeh. Menurutnya, kritik adalah sebuah motivasi untuk terus memperbaiki diri. Untuk sebuah pelayanan, dia mengaku siap rugi bagi kepuasan konsumen.
Proses pengerjaan dimulai dari pelepasan semua jok yang kan diganti kulitnya. “Setelah lepas, karyawan akan nge-mal, mengukur, dan menggambar sesuai permintaan,” jelas Simoeh. Setelah itu, jika ada rangka yang rusak diperbaiki dengan dilas.
Usai pemotongan sesuai ukuran, petugas penjahit mulai beraksi. “Jika sudah beres, tinggal dipasang kembali,” ungkapnya. Dia mengaku selalu berdiskusi dengan karyawannya untuk proses pengerjaan, dengan demikian, kontrol terhadap pekerjaan dapat dilakukan.
Disinggung mengenai biaya, Simoeh mengatakan tergantung kualitas bahan yang dipilih oleh konsumen. “Untuk yang kulit asli, harga mulai Rp5 juta hingga Rp15 juta,” jelas dia. Pergantian jok mobil jenis sedan, harga mulai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Sementara minibus, dihargai mulai Rp1,2 juta. Agar tidak ketinggalan model-model jok terbaru, Simoeh mencari referensi dari majalah terbitan luar negeri dan browsing di internet.

Berita : Big Reds Jogja


*Big Reds Jogja
You'll Never Walk Alone

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

When you walk thourgh a storm
hold your head up high
and don't be afraid of the dark
at the end of a storm
there's a golden sky, and the sweet silver song of a lark
walk on through the wind, walk on the through the rain
though your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on, with hope in your heart, and you'll never walk alone...You'll never walk alone

Itulah lirik You'll Never Walk Alone yang menjadi lagu kebangsaan bagi seluruh penggemar klub sepakbola asal Inggris, Liverpool. Lagu ini mula-mula hanya terdengar di Stadion Anfield, kandang Liverpool. Namun setelah penggemarnya menggurita, syair itu pun dihapal oleh seluruh Liverpuldian di seluruh dunia.
Sekarang, lagu itu tidak hanya dinyanyikan di Anflied. Di Jogja pun, kala Liverpool bertanding, dengan lantang anggota Big Reds Jogja mengumandangkannya. Big Reds adalah Indonesian Official Liverpool Football Club Suppoters Club alias kumpulan suporter The Kop di Indonesia yang telah memperoleh lisensi resmi.
Redi S. Hamdani, Korwil Big Reds Jogja, mengatakan secara nasional Big Reds berdiri pada 28 Desember 1999. “Big Reds Indonesia mendapat lisensi pada 18 Oktober 2004,” jelas Redi. Untuk Korwil Jogja, resmi bergabung pada 2005.
“Untuk mengumpulkan anggota dan bergabung secara resmi, susah-susah gampang tapi tetap perlu perjuangan,” jelas Redi. Dia berkisah, pada awal mula berdiri, dirinya selalu menyambangi tempat digelarnya acara nonton bareng yang menyiarkan Liverpool. Dari sini, terlihat antusiasme pendukung.
Dari lima orang, anggota Big Reds terus berkeliling dari satu lokasi Nonbar ke lokasi lainnya. “Tujuannya mencari anggota baru,” ungkap Redi. Selain dari acara Nonbar, perekrutan anggota juga bergerilya dari kos ke kos dan kampus. Saat ini, anggota resmi ada 80 orang.
Setiap jeda kompetisi adalah masa yang 'melelahkan' karena tidak ada acara pemersatu anggota. Namun, Big Reds mengadakan kegiatan non sepakbola untuk menjalin keakraban. “Apa saja yang penting bisa bersama, mulai dari paint ball, rafting, nonton, bioskop, atau futsal,” tandas Redi. Kegiatan rutin adalah futsal tiap Selasa malam.
Kegiatan Big Reds Jogja termasuk bejibun. “Selain mengadakan kunjungan antar Korwil, saat bulan puasa, kita melakukan kegiatan sosial,” jelas Redi. Dia mengungkapkan, Big Reds juga menjalin silaturahmi dengan suporter klub lain.
“Di Big Reds, kita bisa tukar informasi, termasuk tahu paling awal mengenai perkembangan Liverpool,” jelas Redi. Bagi pencinta Liverpool, menjadi satu kebanggaan tatkala memperoleh informasi lebih awal dan lebih lengkap dibanding yang lainnya. Sarana informasi anggota Big Reds adalah majalah Walk On Reds Letter.
Aji Wibowo, Humas Big Reds Korwil Jogja, menambahkan sebagai bukti loyalitas kepada Liverpool, setiap tahun ada program dari Big Reds yang mengirim anggota untuk menonton pertandingan ke Stadion Anfield secara langsung. “Tapi akomodasi ditanggung sendiri,” cetusnya. Big Reds hanya akan memfasilitasi anggota.
“Jika ada Liverpool tour Asia, anggota Big Reds Jogja selalu ada perwakilan untuk menonton,” ungkap Aji. 26 Juli mendatang, empat orang anggota Big Reds Jogja berangkat ke Singapura untuk menonton Liverpool bertanding.
Bagi Aji prestasi Liverpool yang tidak stabil bukan alasan untuk tidak memberikan dukungan. “Ini soal loyalitas dan kebanggan, kami yakin Liverpool akan memperoleh hasil terbaik, pemainnya juga sudah cukup mumpuni untuk meraih juara,” tandas penggemar Steven Gerrard ini.

Berita : 8 Juli 2009


*Buruh gendong Pasar Giwangan
Berebut tapi tetap rukun

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Puluhan perempuan tua yang duduk-duduk di emperan tenda tiba-tiba berlari mendekati mobil pick-up yang mengangkut sayuran. Menantang panas dalam keriuhan suara, mereka beradu cepat mengambil puluhan karung sayur dan mengangkatnya. Tak kurang dari 15 menit, isi mobil itu telah terkuras.
Salah satu perempuan yang mengangkut karung sayur tadi Nardi Wiyono, warga Petoyan, Panggung, Wonosari, Gunungkidul. Ibu tiga anak ini sudah empat tahun menjadi buruh gendong di Pasar Giwangan. Awalnya, dia bertani. Tapi karena hasil panen tidak bisa dikompromi, turun ke kota adalah pilihan yang dilakoni.
“Tani sepi mas, namung tumut tiyang,” ujar Nardi sembari membuang peluh dengan bajunya. Tuntutan membiayai kehidupan keluarga membuatnya menuruti ajakan tetangga untuk menjadi burung gendong. Meski penghasilan tidak menentu, namun setidaknya, penghasilan Rp15 ribu menjadi tabungan untuk kembali ke desa.
Dengan menghela nafas, tanda kecapekan usai mengangkut karung, Nardi melanjutkan ceritanya. “Ne ngangkat kintalan, rodo mending mas, saget borongan,” tutur dia. Untuk satu karung yang diangkut dalam hitungan kuintal, buruh mendapat upah antara Rp2000 hingga Rp3000. Namun jika hanya satuan, tiap karung yang diangkut, buruh mendapat Rp1000. Tergantung kesepakatan dengan pemilik sayur.
“Kerja jadi buruh,” kata Nardi, “Sing paling penting njogo awak, tetep kuat, ne ra kuat ora mangan,” ujarnya dengan tergelak. Kerja mulai dari pukul 14.00 WIB hingga 21.00 WIB sangat menguras tenaga. Kekuatan adalah kunci bagi Nardi dan puluhan buruh gendong lain untuk mengais rejeki. Tanpa kekuatan otot, mereka akan tergilas dan uang tak kan dimiliki.
Selain kekuatan, para buruh juga mesti berebut dengan rekannya. “Sopo sing cepet, kui sing entuk karung,” lirih Nardi. Terkadang, dalam perebutan rejeki tersebut, ketegangan antar buruh terjadi. Tak jarang, adu mulut karena merasa paling berhak atas karung-karung mengemuka.
Untuk mengendorkan ketegangan, sekali dalam sebulan, para buruh gendong Pasar Giwangan berkumpul dan mengadakan arisan. “Mboten kathah, sing penting guyub,” derai Nardi. Dengan Rp5000, segala perselisihan karena karung menjadi lebur dalam semangat untuk hidup rukun.
Sadar pendapatan yang diperoleh tak seberapa, Nardi mensiasati dengan membayar uang kos perhari. “Ne perhari niku, saumpomo wangsul ting Gunungkidul, mboten sak mbayar,” tandasnya. Harga sewanya, Rp3000 perhari.
Narti, seorang buruh yang lain mengatakan, meski terlihat santai namun tetap ada aturan tidak tertulis yang musti ditaati. “Jika truk besar, itu jatahnya buruh angkut laki-laki,” jelas Narti. Setelah buruh laki-laki menurunkan semua karung, giliran buruh perempuan mengambil alih.
“Peraturan ini agar tidak ada buruh yang iri, yang penting, semua bisa makan,” ungkap Narti. Dia beranggapan, rejeki sepenuhnya berada ditangan Tuhan. Sementara, manusia hanya harus berusaha...

Rabu, Juni 24, 2009

Berita : 24 Juni 2009

*Gara-gara terlambat ambil surat kelulusan
Siswa MTSn dipukul guru

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

NGAGLIK : Hanya gara-gara terlambat mengambil surat kelulusan, Galih Pratama Putra, siswa MTSn Ndayu, Sardonoharjo dipukul oleh gurunya di bagian pipi dan perut. Karena tidak terima memperoleh perlakuan kasar, korban mengadu kepada orang tuanya.
Dengan didampingi Supriyanto, orang tuanya, Galih mengadu ke LBH Indonesia Tegak, kemarin. Galih mengatakan insiden pemukulan tersebut berlangsung pada Sabtu (20/6) di ruang guru. “Ini karena saya terlambat saat pengumuman kelulusan,” jelas Galih.
“Pengumunan direncanakan sekitar pukul 09.30, tapi saya datang sekitar pukul 10 lebih,” ujar Galih. Entah karena kesal atau sebab lain, tiba-tiba Galih dipanggil oleh Riyadi, salah seorang gurunya, ke ruang guru. Bersama Galih, ada bebera orang temannya yang juga terlambat.
Tanpa banyak bicara, Riyadi langsung menampar Galih di pipi sebelah kiri dan perutnya. “Saya juga sempat diacungi gunting,” ungkap Galih. Setelah pemukulan tersebut Galih keluar dari ruangan.
Setibanya di rumah, usai merayakan kelulusan, Galih mengadu kepada orang tuanya. Mendapat penjelasan adanya pemukulan tersebut, Supriyanto langsung melakukan visum di Rumah Sakit Condoncatur.
“Berdasar hasil visum tersebut, kami berkonsultasi dengan LBH untuk meminta bantuan hukum,” jelas Supriyanto. Dia mengaku belum berkomunikasi dengan pihak sekolah dan menyerahkan persoalan penganiayaan ini sepenuhnya kepada LBH Indonesia Tegak.
Menanggapi adanya pengaduan tersebut, Andi Nugraha dari LBH Indonesia Tegak, menegaskan akan mengumpulkan bukti-bukti adanya pemukulan tersebut. “Langkah selanjutnya adalah melapor ke Polsek Ngaglik,” ujar Andi.
“Kita akan bergerak cepat untuk mencegah keterlambatan penanganan perkara penganiayaan ini,” ungkap Andi. Untuk upaya mediasi atas perkara ini, Andi mengatakan kemungkinan tersebut tetap terbuka untuk dilakukan.
Andi mengatakan bahwa atas penganiayaan tersebut, Riyadi diancam pasal 351 KUHP. “Ancaman hukumannya bisa sampai 15 tahun penjara,” tandasnya.

Senin, Juni 15, 2009

Berita : 15 Juni 2009

*Tunggu putusan persidangan
Warga Gampingan boyongan ke PN Jogja

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

UMBULHARJO : Sekitar 70 orang yang tergabung dalam Paguyuban Warga Gampingan (PWG) 'pindahan' ke Pengadilan Negeri Jogja, kemarin. Menurut Bejo Wiyanto, koordinator PWG, langkah yang ditempuh ini adalah untuk menunggu hasil putusan sidang sengketa tanah antara PWG dan tiga penggugat, Ngatini, Pardinem, dan Poniyem.
Dengan mengusung berbagai alat masak dan puluhan spanduk, warga langsung mengambil tempat di pelataran parkir PN Jogja. Beralas tikar, puluhan warga termasuk anak-anak sempat makan bersama dan bermain.
Bejo mengatakan bahwa PWG akan terus berada di PN Jogja hingga putusan sidang selesai. “Jika kami kalah, maka kami tidak akan punya rumah lagi, dan kami memilih PN Jogja sebagai rumah baru,” ujar Bejo, kemarin.
Alasan memilih PN Jogja adalah karena lembaga tersebut yang berwenang memutus nasib warga dalam kasus sengketa tanah ini. “Besok [hari ini] adalah keputusan hasil persidangan, kami harap hakim dalam memberikan keputusan menggunakan akal sehat dan hati nurani,” tandas Bejo.
“Tidak masalah kami tidur dan membuat dapur umum disini, karena jika kami kalah, PN ini juga akan menjadi rumah kami,” kata Bejo.
Sengketa tanah yang menimpa warga Gampingan tersebut bermula dari munculnya gugatan kepemilikan tanah oleh tiga warga yakni Ngatini, Pardinem dan Poniyem. Ketiga penggugat berbekal sertifikat bernomor M.905 tersebut mengakui kepemilikan 1.227 meter persegi lahan yang ditempati warga.
Menurut PWG, kepemilikan sertifikat tanah yang berada ditangan ketiga penggugat diperoleh melalui cara-cara yang tidak sah. “Setiap kali PWG mempertanyakan kepemilikan sertifikat tersebut selalu dipersulit dan tidak pernah mendapat jawaban semestinya,” jelas Bejo.
Menanggapi aksi warga Gampingan yang boyongan ke PN Jogja, Humas PN Jogja, Elfi Marzuni mengharapkan agar warga menunggu hasil putusan dan menghormatinya. “Besok [hari ini] adalah keputusan mengenai sengketa tanah tersebut,” jelas Elfi.
Dia mengatakan bahwa hakim dalam memberikan keputusan persidangan tidak bisa diintervensi siapapun. “Keputusan berdasarkan fakta dan bukti dipersidangan,” ungkapnya. Untuk warga yang berdiam di pelataran parkir pengadilan, imbuh Elfi, jangan sampai menganggu jalannya persidangan.

Senin, Juni 01, 2009

Berita : 1 Juni 2009

*Penonaktifan Ibnu Subiyanto sebagai bupati
Kejati : Urusan pemerintahan

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

UMBULHARJO : Penonaktifan Ibnu Subiyanto sebagai Bupati Sleman bukan wewenang kejaksaan. Menurut Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati DIY, Fora Noenoehitoe meski Ibnu Subiyanto telah berstatus terdakwa, namun soal penonaktifan adalah kebijakan pemerintah.
“Jaksa tidak mencampuri soal pemerintahan, kita hanya menangangi soal hokum,” jelas Fora, di kantornya, kemarin. Fora mengatakan tidak ada hubungan hirarki antara kejaksaan dengan pemerintah daerah.
Dia menjelaskan bahwa kejaksaan adalah lembaga yudikatif yang menangani hukum. “Sementara Ibnu adalah eksekutif karena kepala daerah,” kata Fora. Dan antara kedua lembaga tersebut, tidak ada garis struktural yang bisa mencampuradukkan kepentingan.
Ditegaskan oleh Fora, tidak adanya hubungan secara struktural tersebutlah yang diakuinya menjadi dasar tidak bisanya jaksa mencampuri penonaktifan Ibnu. “Jaksa tidak pernah melaporkan kasus kepada kepala daerah, kejaksaan itu independent,” tegas dia.
“Meski kasus melibatkan kepala daerah, kita tidak perlu lapor-lapor,” ungkap Fora. Jika ada laporan antar instansi, imbuh Fora, pasti akan ada kecurigaan terjadi permainan dalam penegakan hukum, karena independensi penegak hukum diragukan.
Sementara itu, Kabid Investigasi Jogja Corruption Watch (JCW) Syarifudin M. Kasim mengungkapkan adanya tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi buku ajar Kabupaten Sleman.
“Dia diistimewakan karena menjabat sebagai kepala daerah,” tegas Syarifudin. Dia menambahkan semua yang terlibat dalam kasus korupsi buku ajar ini semuanya langsung ditahan sementara Ibnu masih terus menghirup udara bebas.
Lebih lanjut, upaya persamaan didepan hukum bisa dilihat pada sidang perdana Ibnu Subiyanto yang dijadwalkan Kamis (5/6) mendatang. “Kita tunggu langkah hakim, ada perintah penahanan atau tidak, jika tidak berarti memang tebang pilih,” tutur Syarifudin.

Jumat, Mei 29, 2009

Berita : 29 Mei 2009

*Gelar Operasi Simpatik
Anggota Satlantas bagikan bunga

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

SLEMAN : Ratusan bunga dan mug dibagikan kepada pengendara sepeda motor oleh anggota Satlantas Polres Sleman, kemarin. Kasat Lantas Polres Sleman, AKP Bambang SW mengatakan pemberian setangkai bunga kepada pengendara merupakan bentuk kepedulian terhadap pengendara.
“Kami mengkedepakan pendekatan persuasif untuk meningkatkan kesadaran berlalu lintas,” ujar Bambang, disela-sela acara pembagian bunga, di Perempatan Monjali. Dia mengatakan upaya simpatik dirasa lebih mengena kepada masyarakat dalam upaya menekan pelanggaran lalu lintas.
Menurut Bambang, bunga merupakan lambang persahabatan, kasih sayang, serta kesejukan. “Dan pembagian bunga yang kami lakukan ini juga sesuai dengan nama gelar operasinya, Operasi Simpatik,” tandas dia.
Mantan Kasat Lantas Polres Bantul ini mengungkapkan kecelakaan lalu lintas banyak terjadi karena dimulai dengan adanya pelanggaran. “Tujuan operasi ini yakni memberikan informasi kepada masyarakat tentang tata tertib berlalu lintas dengan baik dan benar,” kata Bambang.
Selain itu, dengan digelarnya operasi ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih kepada masyarakat untuk patuh kepada aturan dan mentaatinya.“Kita berusaha untuk tidak memberikan blanko tilang kepada para pengendara yang melakukan pelanggaran ringan. Namun jika pelanggarannya berat maka harus ditilang dalam Operasi Simpatik ini,” ungkap Bambang.
“Petugas dalam menangani kasus dijalan disarankan untuk tidak menunjukan arogansinya,” harap Bambang. Namun justru sebaliknya petugas diharapkan dapat membaur dengan masyarakat menjadi satu, sehingga semuanya akan berjalan lancar dan aman.
Disinggung mengenai makna Operasi Simpatik bagi penegakan hukum di jalan raya, Bambang mengatakan, “Perilaku simpatik yang dimaksudkan adalah dengan mematuhi dan melengkapi semua kelengkapan berkendara yang di wajibkan.”
“Operasi simpaitik dilaksanakan agar masyarakat bersimpatik kepada peraturan yang berlaku. Sehingga mereka mematuhi dan menjalankannya,” papar Bambang seraya mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam berkendara di jalan raya.
Deni, salah seorang yang terjaring Operasi Simpatik ini berharap agar petugas tidak hanya 'baik' saat Operasi Simpatik digelar. “Jika memang salah yang diberi sanksi,” pungkasnya.

Selasa, Mei 26, 2009

Berita : 25 Mei 2009

3 Napi positif HIV


Oleh Dian Ade Permana

Harian Jogja



PAKEM : Tiga orang warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Narkotika positif mengidap HIV/AIDS. Menurut Kalapas Narkotika, Bambang Haryono, virus yang diderita oleh narapidana tersebut berasal dari luar LP. Yakni ketika narapidana masih aktif menggunakan narkoba jenis putaw dengan jarum suntik.

“Ada tiga orang yang terkena, mereka saat ini terus menkonsumsi ARV (Anti Retrovial) untuk menekan pertumbuhan virus HIV,” jelas Bambang usai peresmian gereja dilingkungan LP. Narkotika, kemarin. Bambang mengatakan ARV (Anti Retrovial) berfungsi untuk menjaga kekebalan tubuh bagi penderita HIV/AIDS.

Bagi Bambang, mereka yang terkena HIV mengkonsumsi ARV dengan gratis karena langkah ini merupakan upaya preventif untuk menumbuhkan semangat hidup narapidana. “Tidak ada masalah untuk pengadaan ARV, karena ini adalah subsidi dari pemerintah,” kata Bambang.

Mengenai proses sosialiasi narapidana, imbuh Bambang, tidak ada masalah berarti yang tercipta antara napi yang mengidap HIV dan yang sehat. “Pengetahuan mereka cukup bagus, bahwa HIV itu hanya bisa menular lewat hubungan seks dan darah melalui jarum suntik,” ungkap Bambang. Dengan demikian tidak ada kekhawatiran akan terjadi penularan ketika terjadi persinggungan.

“Namun untuk proses pembinaan memang ada pembedaan, mengingat kondisi fisik dan mental penderita telah mengalami penurunan,” kata Bambang. Pendekatan yang digunakan LP. Narkotika adalah penekanan pada aspek mental guna memotivasi napi.

Disinggung mengenai kendala dalam mengetahui narapidana yang menderita HIV, menurut Bambang adanya kode etik di kedokteran yang merahasiakan identitas pengidap. “Namun tetap harus ada pemberitahuaan, karena ini berkaitan dengan proses pembinaan selama berada di dalam LP,” jelas dia.

“Untuk mencegah penularan HIV dan identifikasi penderita HIV sedini mungkin, petugas dari LP melakukan cek kesehatan narapidana secara rutin,” tandas Bambang Haryono.

Terpisah, Bambang Rantam, Kakanwil Depkuham DIY mengatakan perlunya LP khusus untuk pecandu narkoba karena sistem pembinaan yang berbeda dengan napi kriminalitas biasa. “Apalagi jumlah narapidana narkoba itu paling banyak dibanding yang lainnya,” jelas Bambang.