Senin, Februari 07, 2011

Semua Pemimpin Bisa Jatuh

Semua pemimpin yang tidak mendengarkan rakyatnya akan jatuh dan terguling dari kekuasaannya. Syafii Maarif mencontohkan bahwa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto,yang termasuk pemimpin hebat, terjatuh dari kekuasaannya. Penyebab utama kejatuhan tersebut adalah keotoriteran.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah tersebut enggan membandingkan Indonesia dengan Mesir yang saat ini krisis kepemimpinan. Namun adanya gerakan tokoh lintas agama dan Forum Rektor Indonesia (FRI), menurut Syafii harus disikapi. “Tujuan kami hanya membuat pemimpin menjadi lebih sadar,” ucapnya usai menghadiri Milad Ke 30 UMY, Sabtu (5/2).
Buya, panggilan Syafii, menegaskan bahwa tokoh lintas agama tidak akan ditunggangi oleh kepentingan politik. Menurutnya, penunggangan hanya akan bisa dilakukan jika ada yang ‘membungkuk.’ Padahal selama ini, tokoh lintas agama tetap berdiri tegak. “Kami tidak memiliki tujuan politis, kami hanya ingin perbaikan,” ungkapnya.
Strategi yang akan digunakan adalah dengan memakai pendekatan budaya. Karena mengandalkan kebudayaan tersebut, maka tidak ada target batas waktu untuk perbaikan. “Tokoh dari lintas agama tidak akan terpaku waktu, standar kebudayaan itu sangat luas,” jelasnya.
Buya juga meminta agar pernyataan dari tokoh lintas agama mengenai kebohongan pemerintah, harus disikapi dengan bijaksana. “Lihat subtansinya, jangan asal respon,” pinta Buya. Masyarakat harus mampu melhat kondisi riil Indonesia dan mengambil sikap terhadap perkembangan yang terjadi.
Disinggung mengenai pertemuan dengan FRI, Buya mengatakan bahwa belum ada poin krusial. Dia meminta kepada semua pihak agar tidak melebih-melebihkan dan membandingkan dengan kondisi Mesir. (Dian Ade Permana)

Pendidikan Kunci Peradaban



Pendidikan Kunci Peradaban

(BANTUL) - Peradaban adalah karya manusia yang terbesar. Untuk mencapainya, perlu ada sumber daya manusia terbarukan yang mumpuni. Di Indonesia, yang oleh mantan Presiden RI, Prof Dr Ir BJ Habibie Dipl Eng disebut sebagai rantai permata hijau, memiliki kemampuan untuk membangun peradaban tersendiri. Modalnya, budaya plural yang sangat kental.
Habibie mengatakan bahwa peradaban adalah hasil dari sinergitas antara elemen budaya, elemen agama, dan ilmu pengetahuan serta teknologi. “Elemen budaya adalah yang paling tua, dan peradaban harus dibangun oleh manusia,” terangnya dalam orasi budaya bertajuk ‘Strategi Pengembangan SDM Dalam Rangka Mengatasi Kemiskinan dan Persaingan Global’ di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY),Sabtu (5/2). Kegiatan ini diselenggarakan untuk memerahkan milad UMY ke 30.
Dengan peradaban yang baik, manusia harus bisa meningkatkan kualitas iman dan takwa. “Namun untuk mendapatkan semua itu, manusia harus memiliki proses pendidikan,” tegas Habibie. Pendidikan, imbuhnya, menciptakan manusia unggul. Dia memandang bahwa organisasi Muhammadiyah, masuk dalam garda terdepan dalam mendukung manusia yang berpendidikan dan pembudayaan.
Selama tidak ada pertentangan SARA, kata Habibie, manusia akan bertindak bebas dan merdeka. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah ketentraman yang berimplikasi pada penataan masa depan. Dalam konteks ini, peran seorang ibu sangat besar dalam membentuk pondasi anak.
Habibie menyarankan gerakan Muhammadiyah harus konsisten dalam pendidikan dan budaya untu menciptakan kader yang unggul. Dia menilai, bahwa kader yang dihasilkan oleh Muhmmadiyah memiliki nilai kritis dan mampu bersaing dalam dunia global. “Tapi yang tak kalah penting, kader tersebut harus bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat,” tegasnya. Nilai kritis bukanlah untuk dimusuhi, namun harus dipilah untuk kebaikan
Dia juga menyoroti, semakin berkurangnya ahli dirgantara di Indonesia. Dari sekitar 16 ribu ahli, saat ini hanya tinggal 3000 orang. “Jika hal ini tidak diperhatikan, maka akan terus menyusut dan tinggal nol,” sesal Habibie. Banyak ahli yang lari ke negara lain karena tidak diperhatikan. Dia pun meminta kepada pemerintah, tidak hanya berpikir saat ini namun harus bisa memprediksi jangka panjang. (Dian Ade Permana)