Rabu, Juni 24, 2009

Berita : 24 Juni 2009

*Gara-gara terlambat ambil surat kelulusan
Siswa MTSn dipukul guru

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

NGAGLIK : Hanya gara-gara terlambat mengambil surat kelulusan, Galih Pratama Putra, siswa MTSn Ndayu, Sardonoharjo dipukul oleh gurunya di bagian pipi dan perut. Karena tidak terima memperoleh perlakuan kasar, korban mengadu kepada orang tuanya.
Dengan didampingi Supriyanto, orang tuanya, Galih mengadu ke LBH Indonesia Tegak, kemarin. Galih mengatakan insiden pemukulan tersebut berlangsung pada Sabtu (20/6) di ruang guru. “Ini karena saya terlambat saat pengumuman kelulusan,” jelas Galih.
“Pengumunan direncanakan sekitar pukul 09.30, tapi saya datang sekitar pukul 10 lebih,” ujar Galih. Entah karena kesal atau sebab lain, tiba-tiba Galih dipanggil oleh Riyadi, salah seorang gurunya, ke ruang guru. Bersama Galih, ada bebera orang temannya yang juga terlambat.
Tanpa banyak bicara, Riyadi langsung menampar Galih di pipi sebelah kiri dan perutnya. “Saya juga sempat diacungi gunting,” ungkap Galih. Setelah pemukulan tersebut Galih keluar dari ruangan.
Setibanya di rumah, usai merayakan kelulusan, Galih mengadu kepada orang tuanya. Mendapat penjelasan adanya pemukulan tersebut, Supriyanto langsung melakukan visum di Rumah Sakit Condoncatur.
“Berdasar hasil visum tersebut, kami berkonsultasi dengan LBH untuk meminta bantuan hukum,” jelas Supriyanto. Dia mengaku belum berkomunikasi dengan pihak sekolah dan menyerahkan persoalan penganiayaan ini sepenuhnya kepada LBH Indonesia Tegak.
Menanggapi adanya pengaduan tersebut, Andi Nugraha dari LBH Indonesia Tegak, menegaskan akan mengumpulkan bukti-bukti adanya pemukulan tersebut. “Langkah selanjutnya adalah melapor ke Polsek Ngaglik,” ujar Andi.
“Kita akan bergerak cepat untuk mencegah keterlambatan penanganan perkara penganiayaan ini,” ungkap Andi. Untuk upaya mediasi atas perkara ini, Andi mengatakan kemungkinan tersebut tetap terbuka untuk dilakukan.
Andi mengatakan bahwa atas penganiayaan tersebut, Riyadi diancam pasal 351 KUHP. “Ancaman hukumannya bisa sampai 15 tahun penjara,” tandasnya.

Senin, Juni 15, 2009

Berita : 15 Juni 2009

*Tunggu putusan persidangan
Warga Gampingan boyongan ke PN Jogja

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

UMBULHARJO : Sekitar 70 orang yang tergabung dalam Paguyuban Warga Gampingan (PWG) 'pindahan' ke Pengadilan Negeri Jogja, kemarin. Menurut Bejo Wiyanto, koordinator PWG, langkah yang ditempuh ini adalah untuk menunggu hasil putusan sidang sengketa tanah antara PWG dan tiga penggugat, Ngatini, Pardinem, dan Poniyem.
Dengan mengusung berbagai alat masak dan puluhan spanduk, warga langsung mengambil tempat di pelataran parkir PN Jogja. Beralas tikar, puluhan warga termasuk anak-anak sempat makan bersama dan bermain.
Bejo mengatakan bahwa PWG akan terus berada di PN Jogja hingga putusan sidang selesai. “Jika kami kalah, maka kami tidak akan punya rumah lagi, dan kami memilih PN Jogja sebagai rumah baru,” ujar Bejo, kemarin.
Alasan memilih PN Jogja adalah karena lembaga tersebut yang berwenang memutus nasib warga dalam kasus sengketa tanah ini. “Besok [hari ini] adalah keputusan hasil persidangan, kami harap hakim dalam memberikan keputusan menggunakan akal sehat dan hati nurani,” tandas Bejo.
“Tidak masalah kami tidur dan membuat dapur umum disini, karena jika kami kalah, PN ini juga akan menjadi rumah kami,” kata Bejo.
Sengketa tanah yang menimpa warga Gampingan tersebut bermula dari munculnya gugatan kepemilikan tanah oleh tiga warga yakni Ngatini, Pardinem dan Poniyem. Ketiga penggugat berbekal sertifikat bernomor M.905 tersebut mengakui kepemilikan 1.227 meter persegi lahan yang ditempati warga.
Menurut PWG, kepemilikan sertifikat tanah yang berada ditangan ketiga penggugat diperoleh melalui cara-cara yang tidak sah. “Setiap kali PWG mempertanyakan kepemilikan sertifikat tersebut selalu dipersulit dan tidak pernah mendapat jawaban semestinya,” jelas Bejo.
Menanggapi aksi warga Gampingan yang boyongan ke PN Jogja, Humas PN Jogja, Elfi Marzuni mengharapkan agar warga menunggu hasil putusan dan menghormatinya. “Besok [hari ini] adalah keputusan mengenai sengketa tanah tersebut,” jelas Elfi.
Dia mengatakan bahwa hakim dalam memberikan keputusan persidangan tidak bisa diintervensi siapapun. “Keputusan berdasarkan fakta dan bukti dipersidangan,” ungkapnya. Untuk warga yang berdiam di pelataran parkir pengadilan, imbuh Elfi, jangan sampai menganggu jalannya persidangan.

Senin, Juni 01, 2009

Berita : 1 Juni 2009

*Penonaktifan Ibnu Subiyanto sebagai bupati
Kejati : Urusan pemerintahan

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

UMBULHARJO : Penonaktifan Ibnu Subiyanto sebagai Bupati Sleman bukan wewenang kejaksaan. Menurut Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati DIY, Fora Noenoehitoe meski Ibnu Subiyanto telah berstatus terdakwa, namun soal penonaktifan adalah kebijakan pemerintah.
“Jaksa tidak mencampuri soal pemerintahan, kita hanya menangangi soal hokum,” jelas Fora, di kantornya, kemarin. Fora mengatakan tidak ada hubungan hirarki antara kejaksaan dengan pemerintah daerah.
Dia menjelaskan bahwa kejaksaan adalah lembaga yudikatif yang menangani hukum. “Sementara Ibnu adalah eksekutif karena kepala daerah,” kata Fora. Dan antara kedua lembaga tersebut, tidak ada garis struktural yang bisa mencampuradukkan kepentingan.
Ditegaskan oleh Fora, tidak adanya hubungan secara struktural tersebutlah yang diakuinya menjadi dasar tidak bisanya jaksa mencampuri penonaktifan Ibnu. “Jaksa tidak pernah melaporkan kasus kepada kepala daerah, kejaksaan itu independent,” tegas dia.
“Meski kasus melibatkan kepala daerah, kita tidak perlu lapor-lapor,” ungkap Fora. Jika ada laporan antar instansi, imbuh Fora, pasti akan ada kecurigaan terjadi permainan dalam penegakan hukum, karena independensi penegak hukum diragukan.
Sementara itu, Kabid Investigasi Jogja Corruption Watch (JCW) Syarifudin M. Kasim mengungkapkan adanya tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi buku ajar Kabupaten Sleman.
“Dia diistimewakan karena menjabat sebagai kepala daerah,” tegas Syarifudin. Dia menambahkan semua yang terlibat dalam kasus korupsi buku ajar ini semuanya langsung ditahan sementara Ibnu masih terus menghirup udara bebas.
Lebih lanjut, upaya persamaan didepan hukum bisa dilihat pada sidang perdana Ibnu Subiyanto yang dijadwalkan Kamis (5/6) mendatang. “Kita tunggu langkah hakim, ada perintah penahanan atau tidak, jika tidak berarti memang tebang pilih,” tutur Syarifudin.