Selasa, Juni 14, 2011

Bukit Kalitengah, Tujuan Wisata Baru




Pasca erupsi Gunung Merapi, banyak daerah yang didatangi wisatawan karena penasaran dengan kondisi yang terjadi. Salah satu wilayah yang menjadi primadona adalah Desa Glagaharjo, yang memiliki dusun paling dekat dengan puncak Merapi, yakni Dusun Kalitengah Lor. Setiap harinya, setidaknya ada 50 orang yang berkunjung.
Menurut relawan Edelweis, Jolodoro salah satu daya tarik wilayah Bukit Kalitengah tersebut adanya gardu pandang bantuan dari Rotary Club yang telah diresmikan pada Minggu (5/6). Dari gardu pandang setingga 6,5 meter tersebut, pengunjung bisa mengamati hampir seluruh kawasan Merapi, termasuk melihat Kota Yogya. “Ini adalah gardu pandang dengan posisi paling tinggi,” ucapnya, Minggu (12/6).
Kawasan ini bisa dikembangkan menjadi kawasan wisata, karena pihak desa telah menyediakan setidaknya 1,5 hektar lahan disekitar gardu pandang. Diantaranya untuk kawasan perkemahan dan outbond. Jolodoro menyampaikan bahwa pihak Rotary bersedia untuk membantu pengembangan kawasan ini, asal berdasar keinginan warga dan dikelola secara mandiri. Jika kondisi ini tercipta, dia menyakini perekonomian warga akan terangkat.
Saat ini saja, imbuhnya, sudah ada beberapa warung milik warga yang berdiri. Kondisi ini secara tidak langsung telah membuat perekonomian warga meningkat. Meski begitu, belum ada penarikan retribusi untuk setiap pengunjung. Alasannya, belum semua fasilitas penunjang terpenuhi. Meski sudah ada kamar mandi, namun ketersediaan air masih minim. Selain itu, diharapkan ada alat pemantau seperti teropong.
Jolodoro mengatakan dengan adanya teropong maka ada dua keuntungan sekaligus, yakni sebagai alat pemantau kondisi Merapi dan bencana lahar dingin serta mengundang wisatawan datang karena bisa melihat kondisi detail dari gunung. “Kondisi ketinggian gardu pandang ini sudah sangat ideal dan bisa menampung sekitar 20 orang,” tegasnya.
Andri, salah seorang pengunjung dari Klaten mengatakan pemandangan dari Bukit Kalitengah sangat indah, karena menampilkan kekontrasan. Yakni ada lahan yang gersang karena lahar dingin dan awan panas, namun disatu sisi tanaman penghijauan mulai tumbuh. “Jika memang menjadi lokasi wisata, pasti digemari karena sangat indah,” paparnya. Soal kondisi jalan yang belum baik, menurutnya itu menjadi bagian dari pengalaman untuk merasakan sensasi Merapi. (Dian Ade Permana)

Selasa, Juni 07, 2011

Awas, Celeng Widoyo Mengepung




Celeng-celeng nan serakah masih mengepung negara ini. Mereka tak peduli dan abai dengan lingkungan. Tujuan mengeruk keuntungan pribadi adalah kekuatan. Sialnya, mereka hanya menatap sang Budha tanpa niatan untuk bertobat. Ajakan untuk meninggalkan nafsu duniawi tenggelam atas nama kekuasaan. Dasar celeng.
Gambaran bernas tentang perilaku celeng terlihat jelas dalam karya-karya Widoyo. Celeng menjadi tema besarnya. Salah satunya berjudul Insaf. Karya tersebut dipamerkan dalam Suara Daun, Suara Hati, bersama Suitbertus Sarwoko di Bentara Budaya Yogyakarta, mulai 3 hingga 12 Juni 2011.
Bagi Widoyo, celeng adalah binatang menjijikan yang selalu memikirkan diri sendiri. Dia akan makan apa saja hingga perutnya kenyang. Sayangnya, celeng-celeng ini adalah penguasa, mereka memimpin negara tanpa batas. Tak ada kekuatan yang bisa menghentikannya. Bahkan terus beranak pinak. Upaya pembantaian celeng, mulai dari menggantung hingga memanggil orang suci untuk melakukan penyadaran, mental. Celeng tetap saja bertahta.
“Pemimpin yang tak peduli dengan rakyatnya adalah celeng,” geram Widoyo. Realitas perilaku pemimpin yang dipilih lewat jalur demokrasi, semakin membuatnya kesal. Pemimpin itu, tak lagi peduli dengan rakyatnya. Menumpuk harta dengan cara-cara tidak sah. Hukum adalah persoalan negosiasi karena tidak ada lagi wibawa.
Widoyo menyatakan bahwa dirinya bebas dari pengaruh sang maestro celeng, Djoko Pekik, meski mengidolakannya. Penggambaran celeng dalam karya, murni jeritan hati yang tak tahan lagi dengan perilaku penguasa.
Menilik karya Sarwoko, yang men-daun-kan segala sesuatu pun cukup menarik. Rangkaian daun-daun menampakan wujud yang berbeda dalam baluran warna-warna yang kontras. Baginya, daun adalah sumber kehidupan. Karena daun yang kering dan jatuh, pasti terganti daun baru yang lebih muda. Dalam proses ini, pohon akan tetap hidup.
Pohon dan daun, bagi Sarwoko adalah inspirasi. Baginya, ada saja pelajaran yang diperoleh dari pohon, mulai dari tak pernah tumbuh tergesa-gesa, banyak berguna bagi makhluk lain, hingga kemampuan adaptasi. Kesederhaan karya Sarwoko yang realis menampilkan lukisan yang sarat pesan, utamanya dalam kehidupan. (Dian Ade Permana)