Rabu, Juli 15, 2009

Rumah Perca


Dari perca meraih untung

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA


Limbah seringkali dipandang sebelah mata. Dibuang dan hilang ditelan alam. Tapi ditangan-tangan kreatif, limbah adalah sumber inspirasi yang mendatangkan keuntungan. Dari tak bernilai menjadi berharga.
Salah seorang yang jeli melihat peluang tersebut adalah M. Mahmudha, pemilik Rumah Perca. Di awal 2005, dia yang mulanya berjualan Ponsel, melihat peluang usaha dari sisa bahan kaos di perusahaan konveksi.
“Sisa kaos itu paling dibuat keset dan lap meja,” jelas Mahmud, panggilan M. Mahmudha, di show room Rumah Perca, Jalan K.S Tubun, Rabu (15/7). Merasa 'kelas' limbah kaos itu bisa dinaikkan, Madmud mulai melakukan inovasi.
Pemanfaat yang dilakukan Mahmud adalah menata ulang perca dari bahan kaos. “Awalnya cuma saya bikin sprei dan bed cover,” jelas bapak dua anak ini. Pemasaran masih sangat terbatas. Dia mengaku hanya mendaur ulang perca untuk menjadi 'selimut' bagi barang-barang yang sudah familier di masyarakat.
Keinginan untuk menciptakan hasil kerajinan baru sempat terbesit, namun ketika ditawarkan, tidak memperoleh respon. “Kita kembali ke barang-barang yang sudah dikenal,” jelas Mahmud. Setelah produk buatannya diterima, Mahmud mulai membuat pernak-pernik sesuai permintaan pasar.
“Mulai dari tas, dompet, tempat Ponsel, dan bantal.” ujar Mahmud. Harga yang ditawarkan mulai Rp15 ribu hingga Rp300 ribu. Dia hanya menggunakan perca dari bahan katun untuk menjaga kualitas produk buatan Rumah Perca.
Proses pembuatan kerajinan perca ini tidak rumit. “Perca dari pabrik konveksi dipilah sesuai warna kemudian dipotong hingga ukuran maksimal yang dapat digunakan,” tambah Mahmud. Setelah itu, disusun sesuai motif yang diinginkan. Kemudian dipola dan dijahit.
Saat ini, Rumah Perca mempekerjakan 23 orang yang terbagi dalam divisi pemotongan dan penjahitan. “Karyawan memiliki spesialisasi sendiri-sendiri,” tandas Mahmud. Untuk bahan baku perca, dia tidak pernah merasa kesulitan karena di Jogja bertebaran pabrik konveksi.
“Kendalanya adalah modal dan pemasaran,” buka Mahmud sembari tersenyum. Sebagai media promosi, Rumah Perca yang sudah dipatenkan ini, terus aktif ikut dalam pameran. Dia mengaku belum all out menggeber Rumah Perca karena masih memperhitungkan antara permintaan dan kemampuan produksi.
Dia menambahkan bahwa kerajinan perca ini berusaha untuk memproduksi barang hingga tidak menyisakan limbah. “Kita mendapat limbah perca dan diolah menjadi barang kerajinan,” terang Mahmud. Sisa limbah dari Rumah Perca dikirim lagi ke Jawa Timur dibuat sarung tangan.

Komunitas sepeda tinggi


*Komunitas Pecinta Sepeda Tinggi
Sepeda anti global warming

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA


Pemanasan global menjadi menjadi kekhawatiran manusia. Segala upaya untuk melawannya terus dilakukan. Yang biasa dilakukan, manusia mengurangi polusi. Seperti yang dilakukan oleh Komunitas Pecinta Sepeda Tinggi (KPST) Jogja.
Menurut Sono, seorang penggiat KPST Jogja, pada awal mula berdirinya hanya ada lima orang yang memiliki sepeda tinggi. Ide penggunaan sepeda tinggi ini bermula pada 2007, ketika Ciclown Circus yang anggotanya dari Amerika Serikat dan Itali, mengunjungi Indonesia.
“Ciclown Circus mengadakan workshop, seorang anggotanya, Piero, tinggal di Indonesia,” jelas Sono dalam sebuah perbincangan di Jogja National Museum, Rabu (15/7). Setelah mendapatkan ilmu dari Piero, lima orang ini terus berkampanye dengan berkeliling kota Jogja.
Sono mengungkapkan sebelum beralih ke sepeda tinggi, kebanyakan anggota KPST menggunakan sepeda jenis low rider. “Setelah mencoba sepeda tinggi, terasa nyaman, keterusan dan jumlah penggunanya terus bertambah,” kata Sono. Saat ini, jumlah pengguna sepeda tinggi ada 24 orang dan berkumpul setiap Sabtu malam di Tugu.
Karena tidak ada pabrik yang memproduksi sepeda tinggi, maka pemiliknya harus merancang sendiri. “Tidak mahal dan tidak sulit, karena menggunakan rangka bekas yang dibeli kiloan di tukang rosok,” kata Sono yang juga artis tato ini. Sebuah sepeda tinggi biasanya terdiri dari dua rangka yang disusun keatas.
Setelah ada dua rangka, pemiliki langsung mengelas sepeda sesuai keinginan. “Yang penting tetap harus nyaman dan aman,” kata pemuda berpierching ini. Begitu juga bentuk stang dan kontruksi lainnya, sesuai dengan keinginan pemilik.
Sono mengungkapkan kegiatan anggota KPST adalah berkampanye untuk mengurangi polusi. “Kita pernah bersepeda hingga ke Jakarta,” jelas Sono. Ada tiga orang yang bersepeda hingga Jakarta, yakni Sono, Yoyok, dan Janto. Untuk bersepeda massal, anggota KPST pernah berkunjung ke Salatiga.
“Naik sepeda tinggi lebih ada sensasinya, lebih tinggi jadi bisa lihat keadaan sekitar lebih luas,” ungkap Sono. Selain ramah lingkungan, sepeda tinggi menjadi transportasi alternatif baru yang menarik bagi kalangan muda.
KPST bertekad untuk terus melestarikan budaya bersepeda di Jogja. Sono mengatakan dengan menggunakan sepeda tinggi akan lebih menarik perhatian masyarakat dengan demikian kampanye anti global warming akan efektif.
Karena unik, komunitas ini pernah pernah terlibat dalam acara Wira-Wiri yang ditayangkan Trans7 dengan pembawa acara komedian Komeng dan Adul.