Jumat, Februari 27, 2009

Berita 27 Februari 2009

BAP Ibnu setebal 17 centimeter


Oleh Dian Ade Permana

Harian Jogja


JOGJA : Sesuai yang dijanjikan oleh penyidik Polda DIY, akhirnya kemarin Berita Acara Pemeriksaan Ibnu Subiyanto, Bupati Sleman, yang menjadi tersangka kasus korupsi buku ajar dengan kerugian Rp12 miliar, dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY).

Berkas dikirim sekitar pukul 11.00 WIB oleh dua penyidik Polda DIY, Bambang Suhadi dan Eko. Mereka ditemui oleh Dadang Darusallam, Kasi Penyidikan Pidana Khusus Kejati DIY. Dia mengatakan, berkas perkara ini setelah diukur setinggi 17 centimeter. “Itu setelah ditambah dengan daftar barang bukti,” ujar Dadang, diruang kerjanya, kemarin.

Dadang mengungkapkan, bahwa permintaan kejaksaan adalah menambah dua orang saksi untuk dimintai keterangan. Keduanya adalah Setya Budi, mantan Plt. Sekretaris Daerah Kabupaten Sleman dan Dwi Hariyati, dari UGM selaku saksi ahli hukum tata negara. Selain itu, kejaksaan juga meminta alat bukti surat berupa Surat Keputusan Pengangkatan Bupati dan berbagai macam surat dan bukti yang berhubungan dengan kasus buku ajar.

“Menurut penyidik, semua permintaan sudah dipenuhi,” jelas Dadang. Meski begitu, pihaknya tetap akan melakukan penelitian ulang terhadap berkas yang telah diserahkan. Berkas tersebut memiliki registrasi LP/52/IV/2005/Dir.Reskrim tertanggal 8 April 2005.

Dadang menjelaskan, tersangka dijerat dengan pasal 2 atau pasal 3 Jo pasal 18 UU No3 tahun 1999 Jo UU No20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. “Jika memang ternyata sudah lengkap, nanti kita nyatakan P21 atau lengkap,” kata Dadang. Namun, jika memang belum mencukupi, maka Kejati akan kembali mengirim P19 kepada penyidik Polda DIY.

Namun, jika ternyata berkas sudah lengkap, imbuh Dadang, kejaksaan akan menyusun rencana dakwaan dan melakukan ekspose kasus. “Setelahnya kita akan segera memasuki persidangan,” kata Dadang.

Hendarman Supandji, Jaksa Agung dalam kesempatan meresmikan Gedung Kejaksaan Tinggi DIY pada Kamis (26/2) mengatakan, selama kasus memenuhi unsur dan barang bukti lengkap, maka tidak ada alasan untuk menghentikan kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. “Harus diteruskan,” pungkasnya.

Berita : 27 Februari 2009


Mahasiswa demo dukung Pengadilan Tipikor


Oleh Dian Ade Permana

Harian Jogja


DEPOK : Puluhan mahasiwa yang tergabung dalam Gerakan Berantas Politisi Korup Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (Gebrak BEM SI) mengadakan aksi demontrasi di Bunderan Universitas Gajah Mada (UGM), kemarin. Mereka menyatakan menolak politisi korup yang tidak mendukung kebijakan pemberantasan korupsi.

Dengan mengusung poster yang antara lain bertuliskan “Berantas korupsi dengan pengadilan tipikor, jangan pilih politisi korup,” mahasiswa mengadakan aksi teaterikal pengadilan yang penuh suap. Diceritakan, pada proses pengadilan yang melibatkan politisi tersangka korupsi, pengacara menyuap hakim dengan uang.

Karena lemahnya mental anti korupsi di persidangan umum, maka hakim menerima uang sogokan tersebut dengan kompensansi terdakwa dibebaskan. Qodarudin Fajri Adi, Koordinator Gebrak BEM SI mengatakan, aksi ini adalah bentuk kekecewaan terhadap lambannya respon DPR RI terhadap RUU Pengadilan Tipikor.

“Kami menuntut segera disahkan RUU Pengadilan Tipikor menjadi UU Pengadilan Tipikor dengan subtansi pasal yang berkualitas,” ujar Fajri. Gebrak juga memberi dukungan terhadap pemberantasan korupsi termasuk kuota Hakim Ad Hoc yang jelas dan terpusat.

Mahasiswa juga mengajak masyarakat untuk tidak memilih partai politik yang menolak pengadilan Tipikor. “Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari reformasi, inovasi inilah yang diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif mengobati virus korupsi,” tegas Fajri.

Sementara itu, Lakso Anindito, Menteri Koordinator Kebijakan Eksternal BEM KM menegaskan, penolakan partai politik terhadap pengadilam Tipikor adalah bentuk dari politisi korup untuk menghapuskan dan melemahkan sistem pengadilan di Indonesia.

Dia memaparkan, berdasar data ICW (Indonesia Corruption Watch) dalam kurun 2005-2008, terdapat 1421 kasus korupsi dan 600 diantaranya divonis bebas. “Sementara di Pengadilan Tipikor, dari 29 perkara yang ditangani, semuanya dinyatakan bersalah,” tegas Lakso. Dengan demikian, Pengadilan Tipikor adalah harapan untuk pemberantasan korupsi.


Kamis, Februari 26, 2009

Berita : 26 Februari 2009

*Polemik Kemas Yahya dan M. Salim di Tim Supervisi kasus korupsi

Jaksa Agung minta keadilan


Oleh Dian Ade Permana

Harian Jogja


JOGJA : Pemberitaan dicopotnya Kemas Yahya Rahman, mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus dan M. Salim, Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus, dari jabatan di Tim Supervisi dan Bimbingan Teknis Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, dibantah oleh Hendarman Supandji, Jaksa Agung.

Dikatakannya, tidak ada pembatalan atas jabatan baru yang disandang oleh keduanya. “Mereka sudah bekerja, dan ada hasilnya, jadi tidak perlu dicopot,” ujar Hendarman, disela-sela meresmikan Gedung Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, kemarin.

Menurutnya, Kemas dan Salim memiliki keahlian dibidang penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan dalam kasus korupsi. “Jika sekarang mereka saya minta memberi pelatihan pada jaksa-jaksa muda, apakah salah, saya minta keadilannya,” papar Hendarman. Menurutnya, orang yang di dalam penjara pun bisa memberi pengajaran kepada orang lain.

Adanya kecaman berbagai pihak terkait pengangkatan kedua jaksa yang diduga terkait skandal penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh pengusaha Arthalyta Suryani itu, Jaksa Agung menilai hal tersebut hanyalah perbedaan persepsi terkait etika penempatan seorang pejabat yang sempat terkait sebuah kasus.

“Jika persoalannya adalah etika, apa tolak ukurnya, apakah yang menentukan ICW (Indonesian Corruption Watch), kan bukan,” tegasnya. Jaksa Agung menandaskan, selama ini pihaknya tidak pernah melakukan penonaktifan dan mengaktifkan kemabali Kemas Yahya Rahman dari jajaran jaksa di Kejaksaan Agung.

Ditambahkannya, Kemas Yahya adalah staf ahli yang tidak memiliki pekerjaan. “Sudah 10 bulan jadi staf ahli, jika tidak saya beri pekerjaan, maka saya melanggar HAM,” kata Hendarman. Memberi pekerjaan, imbuhnya, jangan disamakan dengan memberi jabatan, karena hal ini diatur dalam UUD.

Meski mengatakan tidak akan mencopot keduanya, namun SK pengangkatan sebagai koordinator Tim Supervisi akan ditinjau oleh Jaksa Agung. “Saya minta untuk slow down dahulu, nanti kita revisi, ini adalah urusan internal Kejaksaan,” jelas Hendarman. Menurutnya, sebuah SK tidak bisa dicabut begitu saja atas desakan dari masyarakat.

Namun demikian, Hendarman Supandji menganggap semua yang berkembang saat ini adalah kritikan kepada lembaga Kejaksaan. “Saya tidak alergi terhadap kritik, ini semua ada hikmahnya,” pungkasnya.



Selasa, Februari 24, 2009

selamat pagi dunia..

masih merasa lelah..
namun tidak boleh kalah..