Minggu, Maret 01, 2009

Berita 1 Maret 2009

*Korupsi pupuk bersubsidi

Pariman jadi tahanan kota


Oleh Dian Ade Permana

Harian Jogja


JOGJA : Pariman, Direktur CV. Karya Anugrah Agung (CV. KAA) Kulonprogo, yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi distribusi pupuk bersubsidi, dikenakan tahanan kota oleh Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status tersebut disandang oleh Pariman dengan alasan kesehatan tersangka yang membutuhkan perawatan intensif.

“Pariman iini memiliki sejarah kesehatan yang kurang baik,” ujar Dadang Darussalam, Kasi Penyidikan Kejati DIY, di ruang kerjanya, pekan lalu. Dikatakannya, Pariman harus melakukan cuci darah secara rutin seminggu sekali. Berdasar pertimbangan tersebut, tersangka ditetapkan menjadi tahanan kota, bukan masuk dalam penjara.

Dadang menegaskan, kebijakan memberi status tahanan tersebut sepenuhnya berada di tangan Kejati. “Status tahanan kota dan masuk penjara itu kan tidak ada bedanya,” ungkap Dadang. Menurutnya, yang membedakan hanyalah pada aktifitas. Jika menjadi tahanan didalam rumah tahanan (rutan) maka hampir dipastikan tidak bisa melihat dunia luar. Namun, jika tahanan kota, aktifitas hanya dilakukan di Kulonprogo.

Namun, meski demikian, untuk memberi status tahanan luar juga melalui pertimbangan dan tidak diberikan kepada semua tahanan. “Karena alasan kesehatan, apalagi Pariman membutuhkan perhatian serius,” kata Dadang.

Dia menambahkan, pihak Kejati telah memperoleh surat resmi dari rumah sakit yang menerangkan kondisi kesehatan Pariman. “Selama proses pemeriksaan, kondisi yang sakit sudah terlihat, namun proses hukum tetap harus dijalankan,” tegas Dadang.

Sementara itu, status delapan tersangka lain dalam kasu distribusi pupuk dengan menggunakan pengecer fiktif, imbuh Dadang, masih dilakukan upaya pemberkasan. “Dalam waktu dekat kita selesaikan,” pungkas Dadang.

Seperti diketahui, Kejaksaan Tinggi DIY telah menetapkan 10 tersangka distributor pupuk 2004-2005. Mereka mencari keuntungan sendiri dengan cara mendaftarkan pengecer pupuk fiktif. Dengan modus pengecer fiktif itulah, negara dirugikan antara Rp65 juta hingga Rp842 juta.