Minggu, Agustus 23, 2009

Madyo Pitutur


Madyo Pitutur
Berdakwah Dengan Bercerita

MAGELANG (KR) – Berdakwah atau mengajarkan kebaikan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan bermusik atau berkesenian. Karena berisi nasehat mengenai kebajikan, maka cara penyampaian harus diolah sedemikian rupa agar diterima masyarakat luas.
Di Dusun Wonolelo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, untuk menyampaikan petuah, kaum pinisepuh mengembangkan budaya pitutur dengan media kesenian rakyat.
Ki Ipang, Ketua Studio Seni Ipang Wonolelo, kepada KR, Jumat (21/8), mengatakan ketika memberikan petuah diiringi dengan musik yang berasal dari kendang, kimpul, jedor, dan kentongan. “Madyo Pitutur ini sudah berusia sekitar 10 tahun,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, meski sebagian besar penutur ini adalah orang tua, namun anak muda juga dilibatkan dalam kegiatan Madyo Pinutur. “Misalnya untuk memegang alat musik,” kata Ipang. Menurutnya, dengan mengajarkan sejak dini kesenian pitutur ini, maka anak-anak bisa mengerti tentang budaya yang mulai ditinggalkan ini.
Ipang menjelaskan sejak usia pelajar SMP sudah dilibatkan dalam Madyo Pitutur. “Sementara orang tua berperan sebagai pengarah,” tegasnya. Respon anak muda, imbuh Ipang, cukup bagus dan bergairah dalam belajar seni pitutur.
“Lirik yang ditembangkan dalam pitutur ini berasal dari buku dan kitab,” kata Ki Ipang. Dengan ada panduannya, maka ketika syair diucapkan, tidak akan ada kesalahan. Apalagi, pitutur yang keluar akan dijadikan sebagai pegangan dalam hidup.
Hingga saat ini, ada sekitar 30 syair yang dikuasai Madyo Pinutur. “Dalam seminggu kami berlatih sekali, namun jika akan pentas, intensitasnya bisa bertambah,” jelas Ki Ipang. Untuk pentas, Madyo Pinutur telah merambah hingga se-Karisidenan Kedu. Pentas biasa dimulai jam 21.00 WIB hingga 03.00 WIB dinihari.
“Isi syair dalam pinutur adalah ajaran luhur supaya manusia selalu ingat untuk menjaga perilaku yang baik dan patut, selalu percaya diri, berpegang teguh kepada budi pekerti,” ungkap Ipang. Selain itu ada juga ajaran tata karma, tata susila, sopan, tidak sombong, dan rendah hati. (Dian Ade Permana)

Dusun Maitan, Borobudur, Magelang

Dusun Maitan, Pesona Wisata Desa


Jika ditanya, pasti tidak ada yang mengenal Dusun Maitan, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Namun, dusun yang terletak sekitar satu kilometer dari Candi Borobudur ini memiliki potensi besar dibidang pariwisata.
Meski belum tertata sempurna, namun warga dusun ini mulai menggeliat untuk menyambut wisatawan. Salah satu daya jual Dusun Maitan adalah Gunung Bakal. Walau bernama gunung, tapi ketinggiannya hanya sekitar 200 meter. Begitu naik keatas Gunung Bakal, yang terlihat hanya pepohonan, mulai dari bambu, pohon jati, hingga kelapa.
Dengan rute yang sedikit terjal, kurang dari 15 menit, sudah mencapi puncak. Inilah pesona Gunung Bakal. Di sebuah gubuk, pandangan lurus langsung melihat Candi Borobudur yang dikelilingi Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Pegunungan Menoreh. Dilain sisi, Gunung Sindoro dan Sumbing menanti untuk dinikmati.
Sarifudin, Pjs. Sekretaris Desa Borobudur, yang bermukim di Dusun Maitan mengungkapkan, bahwa sejak setahun lalu warga dusunnya telah berupaya untuk menggarap lahan pariwisata. “Ketika itu yang ditawarkan hanya wisata aktifitas masyarakat dan budayanya,” jelasnya.
Sejak awal 2009, warga mulai membuka Gunung Bakal. “Setelah itu, gubuk ini dibangun agar wisatawan nyaman berada di Maitan,” kata Udin, panggilan Sarifudin kepada KR, Rabu (19/8), di gubuk Gunung Bakal. Saat ini, hanya satu gubuk yang berukuran 2 kali 3 meter. Rencananya, gubuk akan ditambah.
“Kami tetap mempertahankan nuansa alam dan desanya, karena itu adalah daya tarik,” tegas Udin. Jika pagi hari, imbuhnya, saat matahari terbit adalah momentum terbaik untuk menaiki Gunung Bakal. Di gunung ini pula terdapat makam kuno yang dikeramatkan warga. Diantaranya Kiai Maito, Kiai Tanjung, Kiai Ciptoroso, dan Kiai Yudhokusumo.
Udin mengatakan penataan kawasan wisata di Dusun Maitan belum selesai. “Kami masih berkoordinasi dengan kelompok sadar wisata, agar kealamian tetap terjaga, sehingga wisatawan nyaman berada disini,” ujarnya. Bahkan, untuk biaya kunjungan wisata juga belum ada tarif resmi, sehingga wisatawan bisa bernegosiasi.
Lebih lanjut, selain pemandangan dari Gunung Bakal, wisatawan yang berkunjung bisa menikmati aktifitas masyarakat yang sedang menders pohon kelapa. “Itu adalah pekerjaan sebagian besar warga pembuat gula merah,” tutur Udin. Selain mendeers, warga Dusun Maitan juga berprofesi sebagai pembuat kerajinan dari bambu. Mulai dari pembuat tikar, keranjang, hingga besek.
“Jika wisatawan ingin menginap, terdapat home stay yang dikelola warga,” kata Udin. Untuk ke Dusun Maitan, dari Candi Borobudur, wisatawan bisa naik gajah atau andong. (Dian Ade Permana)

Jumat, Agustus 21, 2009

TPA Banyuurip Magelang

MAGELANG (KR) - Pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Banyuurip, Tegalrejo, Kabupaten Magelang mengaku dilematis dengan pekerjaan yang dilakoninya. Sebagai sumber penghidupan, TPA ini juga sarang penyakit.

Erwin (56), pemulung yang telah beroperasi sejak TPA ini berdiri pada 1993 mengatakan, selain benda-benda tajam yang mengancam kaki pemulung, sakit di saluran pernafasan juga terkadang dirasakan.

Dia menuturkan bahwa sejak memutuskan sebagai pemulung telah sadar dengan resiko yang dihadapi. “Jika tidak kerja, tidak makan, jika kerja, resiko gangguan kesehatan mengikuti,” kata Erwin. Gangguan lalat akan semakin menjadi ketika musim hujan tiba.

Terpisah, Kepala Desa Banyuurip, Sudiyanto mengatakan pro kontra mengenai keberadaan TPA tersebut memang sudah berlangsung lama.

“Warga yang sebagai pemulung mendapat uang, yang lain terganggu karena bau dan lalat,” ungkapnya. Dia juga mengkhawatirkan adanya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang membayangi warga Desa Banyuurip. Sudiyanto berharap ada solusi terbaik bagi warga dan pemerintah desa agar permasalahan TPA tidak meluas.(Dian Ade Permana)

Upacara HUT Proklamasi Seniman Borobudur

*Seniman Borobudur

Upacara Dengan Pakaian Jawa



MAGELANG (KR) – Sekitar 500 orang seniman dan anak-anak di Kecamatan Borobudur mengikuti upacara peringatan Proklamasi Indonesia di Lapangan Pondok Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, kemarin.

Ganang Tri Laksana, dari Asosiasi Kesenian Rakyat Borobudur (Askrab), mengungkapkan tema upacara kali ini adalah ‘Indahnya Indonesiaku.’ Peserta upacara sendiri terdiri dari 15 kelompok kesenian dan anak-anak.

“Semua peserta harus menggunakan pakaian adat Jawa,” ungkapnya. Menurut Ganang, upacara dengan pakaian Jawa ini bertujuan agar anak-anak semakin mencintai budaya asli daerahnya.

Dia mengatakan bahwa momentum proklamasi ini dapat digunakan untuk menggugah kembali kesenian rakyat. “Anak-anak harus dikenalkan sejak dini dengan jathilan dan topeng ireng agar tidak tergerus zaman,” ungkapnya. Ganang menyakini bahwa dengan mencintai budaya asli daerahnya sama dengan memupuk jiwa nasionalisme.

Sementara itu, Umar, penggiat Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) mengatakan bahwa upacara dengan adat ini dimaksudkan untuk mendapatkan kebahagiaan.

“Upacara jangan hanya menjadi acara seremonial dan paksaan semata, tapi harus menghadirkan kebahagiaan,” kata Umar. Dengan adanya kebahagiaan, maka kesadaran untuk mencintai tanah air dilakukan dengan sepenuh hati.

Eko Sunyoto, seniman PSP Budiluhung menjelaskan, selain upacara, juga digelar lomba estafet egrang dan lari naik kuda lumping. “Mainan tradisional adalah pintu gerbang untuk mencintai Indonesia,” tegas Eko.

“Diharapkan dengan acara Indahnya Indonesiaku ini, rakyat Borobudur dapat benar-benar berpesta dan menikmati kemerdekaannya,” pungkas Eko. (Dian Ade Permana)

Tenggok Raksasa MURI

Tenggok Raksasa Pecahkan Rekor MURI



MAGELANG (KR) – Tenggok raksasa buatan warga Dusun Kopeng, Kapuhan, Kecamatan Sawangan memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI). Tenggok tersebut berukuran tinggi 3 meter dan alas seluas 2 meter.

Agung Nugroho dan Budiono selaku pemekarsa mengatakan dasar pembuatan tenggok ini adalah untuk mengangkat derajat masyarakat Dusun Kopeng. “Semua warga Dusun Kopeng adalah pembuat tenggok, tapi kesulitan pemasaran dan kesejahteraannya minim,” kata Agung, di Balai Desa Kapuhan, Rabu (19/8).

Dia berharap agar dengan adanya tenggok raksasa ini warga memperoleh bantuan dari pemerintah, utamanya dalam modal dan pendampingan. “Dulu pernah ada sekali pelatihan, tapi setelah itu tidak ada kelanjutannya,” ujar Agung.

Ide pembuatan tenggok raksasa ini berawal dari beberapa warga yang membuat tenggok ukuran besar. “Ukurannya 90 centimeter dengan tinggi 1 meter,” ungkap Agung. Tenggok ini dibuat pada Kamis (13/8).

Karena dirasa tanggung, warga berinisiatif membuat tenggok yang lebih besar. “Akhirnya, pada Minggu (16/8) pukul 7 pagi hingga Senin jam 19.00 WIB, semua warga membuat tenggok raksasa ini,” jelasnya. Dengan waktu istirahat pada pukul 01.00 hingga 06.00 WIB.

Untuk membuat tenggok raksasa ini dibutuhkan 35 bambu. “Jenisnya adalah pring apus,” kata Agung. Warga yang turut membuat sebanyak 300 orang. Biaya pembuatan tenggok raksasa ini, mulai bahan hingga tenaga, menelan biaya Rp7,5 juta.

Jika ukuran normal, tenggok digunakan untuk mengangkut pasir atau salak, karena pemasarannya terbatas di wilayah Magelang dan Sleman. “Harganya berkisar antara Rp5000 hingga Rp15.000,” kata Budiono.

Meski telah terdaftar dalam rekor MURI sebagai tenggok terbesar di Indonesia, namun sertifikat belum diterima warga. “Untuk biaya registrasi butuh biaya Rp8 juta, kami sedang mengusahakan agar segera mendapat dana,” kata Agung. Dia mengaku sudah mengusahakan dana dari instansi dan pemerintah. Namun karena terbentur masalah birokrasi, hingga saat ini dana belum dapat cair.

Sumar, Kepala Dusun Kopeng, mengaku bangga dengan karya warganya yang berhasil membuat tenggok raksasa. “Semoga ini bis menjadi momentum kebangkitan ekonomi untuk warga Dusun Kopeng,” pungkasnya. (Dian Ade Permana)

Kamis, Agustus 20, 2009

Demo Pasar Rejowinangun, Magelang

P3RM Geruduk Pemkot
MAGELANG (KR) – Sekitar 40 orang anggota Paguyuban Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang (P3RM) mendatangi kantor Pemerintah Kota Magelang, Kamis (20/8). Mereka menuntut kepada pemerintah agar memberi uang kompensasi kepada 400 pedagang dengan nominal Rp4 juta.
“Uang tersebut sebagai ganti karena kami tidak memperoleh rezeki sebagaimana mestinya untuk bulan ramadhan tahun ini,” ujar Heri Setiawan, Koordinator P3RM. Dia mengungkapkan, uang kompensasi tersebut untuk membayar pedagang karena selama dua bulan, bulan ramdhan dan Idul Fitri, tidak memperoleh penghasilan sebagaimana mestinya akibat Pasar Rejowinangun belum juga dibangun.
Menurut Heri, tuntutan tersebut sangat realistis. “Sebetulnya ada 2000 pedagang yang menjadi korban kebakaran, tapi hingga saat ini hanya 400 orang yang bertahan di penampungan,” ungkapnya. Soal angka tersebut, berasal dari hitungan ketika kondisi masih normal, sehari pedagang mendapat untung Rp100 ribu. Jika dikali 30 hari, mendapat Rp3 juta. Jika dua bulan, semestinya penghasilan Rp6 juta.
Selain menuntut kompensasi, pedagang juga berharap agar Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di Jalan Jendral Sudirman dan bekas area pasar yang terbakar, ditertibkan. “Jika ada pedagang yang turun ke jalan, maka yang di pasar penampungan akan sepi,” jelas Heri.
“Pemerintah harus tegas dalam menegakkan peraturan, kami hanya mengharap keadilan” kata Heri. Kedatangan P3RM ke kantor Pemkot Magelang ini didampingi Bintoro Dwi Prasetyo, dari LSM Cicak Magelang.
Menanggapi tuntutan P3RM, Sekretaris Daerah Kota Magelang, Dr. Senen Budi Prasetyo, mengatakan akan segera menindaklanjuti penertiban PKL yang ada dijalanan. “Spanduk larangan berjualan di pinggir jalan malam ini (kemarin) akan segera kami pasang,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa larangan itu sesuai dengan Surat Edaran Walikota Magelang. “Jika melanggar, akan didenda Rp50 juta atau kurungan selama 6 bulan,” tegasnya. Budi menjelaskan tiada ada niatan dari Pemkot untuk mentelantarkan pedagang. Bahkan saat ini, proses lelang untuk mencari investor pembangunan Pasar Rejowinangun tengah berlangsung. (Dian Ade Permana)

Senin, Agustus 17, 2009

Upacara di Gunung Tidar

*Upacara di Gunung Tidar
Terlambat, Tanpa Indonesia Raya, Tetap Semangat

17 Agustus adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Upacara untuk memperingatinya pun dilaksanakan. Tak ketinggalan di puncak Gunung Tidar. Sekitar pukul 05.00 WIB, ketika kegelapan masih meraja, para peserta upacara yang terdiri dari unsur TNI, Polri, Pramuka, dan Hansip mulai berdatangan.
Dengan langkah tertatih mendaki setiap anak tangga, nafas terengah mulai terdengar. Butuh waktu sekira 20 menit untuk mencapai puncak. Tapi demi upacara kemerdekaan, meski wajah-wajah lelah jelas tergambar, para peserta tetap bersemangat mengikuti.
Jam 06.00 WIB, komandan upacara mulai menyiapkan pasukan. Kerapian barisan mulai diatur. Tahap-demi tahap upacara pun dilalui. Beberapa orang anggota Pramuka masih berdatangan.
“Terlambat mas, upacara mulai pagi dan di gunung,” ujar Heru, siswa SMK I yang mengikuti upacara di Gunung Tidar. Dia mengaku sempat beberapa kali berhenti untuk beristirahat karena kakinya terasa capek dan enggan diajak untuk menapaki gunung setinggi 503 meter diatas permukaan laut itu.
Peluh terus bercucuran ditubuhnya. Dia pun mengambil segelas air mineral untuk meredakan dahaga. “Tidak masalah mendaki, yang penting harus semangat,” tegas Heru. Dia merasa senang bisa ambil bagian mengikuti upacara di Gunung Tidar.
Agus Zaelani, guru SMK I Magelang, mengatakan muridnya yang mengikuti upacara di Gunung Tidar ada 40 siswa. “Saya sudah tiga kali ini upacara di Gunung Tidar,” kata Agus. Menurut dia, upacara di Gunung Tidar dapat meningkatkan kekhidmatan karena sebelum upacara, para peserta musti ‘berjuang’ terlebih dahulu dengan mendaki gunung.
Abdurrahman, seorang Hansip mengungkapkan, upacara di Gunung Tidar membawa kesegaran tersendiri. “Masih sejuk, pagi-pagi naik gunung, segar,” ungkapnya. Meski mengakui dirinya kelelahan, tapi Abdurrahman tidak kapok untuk mengikuti upacara di gunung.
Prosesi upacara peringatan hari kemerdekaan tidak beda dengan tempat lain. Kecuali tempat yang harus dilalui dengan perjuangan dan tidak adanya lagu kebangsaan, Indonesia Raya yang dikumandangkan.
Sementara itu, Inspektur Upacara, Mayor. Cba. Budhi Setiawan, Komandan Tepbek IV-44-02.A/Mgl mengaku bangga bisa memimpin upacara di Gunung Tidar. “Naik gunung ini belum seberapa dibanding dengan perjuangan pahlawan merebut kemerdekaan,” tegasnya.
“Harapan dengan upacara disini adalah agar generasi muda jangan mudah menyerah dalam menggapi cita-cita,” ungkapnya. Dia mengatakan, jumlah peserta yang mengikuti upacara sekitar 200 orang.
Upacara selesai, peserta pun kembali harus berjuang untuk menuruni anak tangga Gunung Tidar. Keceriaan mewarnai perjalanan pulang. (Dian Ade Permana)

Jumat, Agustus 14, 2009

melukis..

....................a...d....e....

masa muda

suatu saat di Stadion Sultan Agung

Red Crizphy Band

*Red Crizphy
Kompromikan Ego Pendengar

MAGELANG (KR) - Tujuan utama bermusik adalah mendapatkan pendengar. Hal ini menjadi patokan ketika Red Crizphy (RC) pertama kali berdiri, Januari 2008. beragamnya permintaan pendengar menjadikan RC memilih aliran musik all around.
Band yang berpersonil Candra dan Reta (vocal), Odix dan Budi (gitar), Anton (bass), Antok (keyboard), dan Bofie (drum) ini setia untuk melayani permintaan lagu pendengarnya.
“Setiap request dari pendengar coba kami respon,” ujar Antok kepada KR, Rabu (5/8) di base camp RC, Jalan Sailendra Raya No.26 Borobudur, Magelang. Dia mengatakan tidak ada spesialisasi aliran musik yang dipilih menjadikan RC mudah diterima oleh kalangan luas.
RC, imbuh Antok, selalu menyambangi berbagai event dan festival musik di Karisidenan Kedu dan sekitarnya. “Beberapa waktu lalu kami mengikuti festival musik di Ambarawa dan mendapat juara II,” bangganya. Selain prestasi untuk band, Bovi juga memperoleh gelar sebagai best drummer.
Setelah cukup matang dan memiliki pengalaman di beberapa event local, RC mulai memberanikan diri menerima tawaran job yang datang. “Hampir semua event pentas seni pelajar dan kafe-kafe mulai mengundang Red Crizphy,” jelas Antok.
Prestasi terbaru yang ditorehkan oleh RC adalah menjadi wakil untuk regional Magelang dalam pagelaran LA Lights Lights Ups Your Soul. “Kami membawakan lagu ciptaan sendiri, Don’t Play With Love,” imbuh Odix.
“Untuk menyesuaikan karakter lagu yang dibawakan, tak jarang kami mengajak vokalis tambahan,” kata Odix. Meski menambah personel, tapi sejak berdiri hingga saat ini, player band tidak pernah berubah. Alasannnya, penyesuian karakter musti dijalani melalui proses dan tidak bisa dalam waktu singkat.
Seperti band lain yang ingin menembus dapur rekaman, RC juga tengah mempersiapkan hal tersebut. “Jalan kami masih panjang, selain mempersiapkan materi, kami juga berusaha agar lebih professional agar tidak bubar ditengah jalan,” pungkas Arot, manajer RC. (Dian Ade Permana)

Cahaya Band

‘Izinkanlah’ Cahaya Bernyanyi


MAGELANG (KR) - Nge-band tanpa arah tak akan menghasilkan apa-apa. Namun ketika mendirikan band sudah berkomitmen untuk menembus dapur rekaman, maka segala usaha akan dijalankan. Seperti Cahaya Band, dari Magelang ini.
Ketika pertama kali berkumpul pada Agustus 2007, tujuan bersama adalah rekaman agar lagu mereka didengar banyak orang. Bongkar pasang personel pun dilakukan, hingga akhirnya menemukan player yang satu komitmen.
Digawangi oleh Ferry (vocal), Tyo (gitar), Yudha (keyboard), Yon (bass), dan Danu (drum), jalan menapaki industri musik Indonesia mulai awal 2009. Bermula dari seorang kerabat yang bermukim di Jakarta dan mendengarkan Cahaya bermain, timbul rasa ketertarikan.
“Dia meminta agar kami membuat master album dan akan mencarikan perusahaan rekaman,” kata Ferry, kepada KR, Senin (10/8) di Boni & Band Studio. Enam lagu mewakili Cahaya untuk mencari peruntungannya di Jakarta.
Di salah satu perusahaan rekaman, lagu-lagu Cahaya diminati. “Kami diminta ke Jakarta dan proses terus berlangsung hingga saat ini,” jelas Ferry, tanpa menyebut perusahaan tersebut.
Setelah master lagu diterima, Cahaya diminta mempersiapkan full album. “Setelah ada perusahaan yang menerima lagu Cahaya, ego masing-masing personel harus dipinggirkan, karena kami sudah masuk ranah komersil,” tegas Danu
10 Lagu akan menjadi andalan Cahaya untuk bertarung mendapatkan pendengar. Suara Hati, Dinda, Tak Mungkin Bersatu, Dan Pergilah, Kisah Cintaku Yang Kedua, Rasaku, Tersenyumlah, Ijinkanlah, Hanya Dirimu, Salahku akan terangkum dalam album bertitel ‘Ijinkanlah.’ “Musik kami easy listening tapi tetap memperhatikan kualitas, pop komersil yang tidak sembarangan,” kata Danu.
“Saat menyanyikan lagu Ijinkanlah, kami dikira menyanyikan lagu Ungu,” tutur Danu. Pasalnya, karakter suara Ferry dan Pasha Ungu ada kesamaan. Meski begitu, dia menegaskan bahwa Cahaya memiliki karakter bermusik yang berbeda dengan band lainnya.
“Saat ini album Ijinkanlah sudah masuk daftar tunggu untuk dirilis, tahun ini akan keluar,” pungkas Danu (Dian Ade Permana)

Wali Konser di Magelang

Dik, Wali Cari Jodoh di Magelang

MAGELANG (KR) – Grup band Wali memuaskan dahaga penggemarnya di Stadion Abu Bakrin, Rabu (12/8). Membuka konser dengan lagu Sahabat Aku Cinta (SAC), sekitar 3000 penikmat musik langsung terhanyut dan mengikuti hentakan lagu.
Usai lagu pertama, band yang digawangi Faank (vocal), Apoy (gitar), Tomi (drum), Ovie (keyboard) ini menyapa penonton. “Sugeng ndalu Magelang, pripun kabar’e,” kata Faank. Setelah mendapat jawaban dari penonton, Tetap Bertahan pun dilantunkan. Faank yang terus berlari-lari di atas panggung, melanjutkan dengan Yang.
“Lagu berikut ini bercerita tentang seorang perempuan yang gue cintai, tapi malah maen dengan teman gue sendiri, salahkan jika gue pingin dia mati saja,” ujarnya disambut gemuruh penonton. Tembang Egokah Aku pun meluncur diiring tepuk tangan penonton.
Usai lagu melankolis itu, emosi penonton kembali dibangunkan dengan lagu bernada cepat, Jodi. Tak puas hanya diatas panggung, Faank pun berlari turun untuk menyapa langsung Parawali (penggemar Wali) yang sedari awal terus mengelu-elukan band yang berdiri 1999 ini.
Dengan dua album yang baru dikeluarkan, Orang Bilang dan Cari Jodoh, Wali mampu menghibur penonton. Orang Bilang menjadi sajian selanjutnya, diikuti Baik-Baik Sayang (BBS).
“Buat semua orang yang datang, yang sayang dengan pacar atau istrinya, Dik,” kata Faank sebelum menyanyikan lagu Dik. Tak ayal, koor dari penonton menyambut intro lagu ini. Dik, aku pinta kau akan slalu setia, Dik, aku mohon kau slalu menemani, Saat ku tengah terluka, Kala ku tengah gundah…
Setelah lagu yang mendayu-dayu yang membuat tangan semua penonton terangkat keatas itu, Wali meluapkan segala caci maki untuk para pengkhianat cinta di lagu Emang Dasar. Penampilan dipungkasi dengan lagu andalan, Cari Jodoh. “Terima kasih Magelang, izinkan Wali Cari Jodoh disini,” teriak Faank. (Dian Ade Permana)

Kelengkeng Ping-pong

Kelengkeng Ping-pong, Tebal dan Wangi

MAGELANG (KR) – Buah kelengkeng pingpong saat ini menjadi primadona karena buahnya yang besar, dagingnya tebal, wangi. Asrofi, pemilik Aneka Tani di Sumberan, Salaman, Kabupaten Magelang mengatakan bibit buah ini berasal dari Vietnam.
“Datang ke Indonesia sekitar tahun 1995, saya membudidayakan pada 1999,” kata Asrofi, kepada KR, Rabu (12/8). Menurut dia, kelengkeng pingpong sangat prospektifk karena bias ditanam di semua tempat, meski hasil paling bagus didapatkan jika pohon ditanam di dataran menengah.
Menurut Asrofi perawatan kelengkeng ping-pong tidak sulit. “Yang penting tanah harus lembab,” tegasnya. Untuk pupuk sendiri, yang paling baik dan cocok adalah pupuk kandang dari kotoran kambing. Selain itu, pohon juga mesti dipangkas pada usia tertentu agar cabang semakin banyak dan rimbun. Dengan demikian ketika berbuah, akan menghasilkan buah yang banyak.
“Ada dua jenis kelengkeng ping-pong, yakni yang daun lebar dan daun kecil,” kata Asrofi. Kelengkeng ping-pong daun kecil asli Vietnam, memiliki cirri buah besar, daging tebal dan wangi. Sementara yang daun besar, buah besar, daging lebih tipis, dan harumnya biasa. Satu kilo dijual Rp40 ribu.
Asrofi sendiri menjual bibit kelengkeng ping-pong tergantung ukuran. “Untuk yang bibit dari okulasi, harga jual mulai Rp20 ribu hingga Rp100ribu, tergantung ketinggian,” ujarnya. Bibit dari biji seharga Rp5ribu untuk ukuran ketinggian 15-20 centimeter.
Dari masa tanam hingga berbuah membutuhkan waktu minimal dua hingga tiga tahun. “Satu tahun mungkin sudah berbuah, tapi belum maksimal,” jelas Asrofi.
Kendala kelengkeng ping-pong adalah hama sejenis teter yang menembus batang dan membikin kering pada lubang binatang itu masuk. “Tapi tidak mematikan, cukup dipestisida dua minggu sekali sudah sehat,” jelasnya.
Selain kelengkeng ping-pong, Asrofi juga membudidayakan kelengkeng Diamond River, Christal, Aroma Durian, Itoh, dan Puang Ray.

Dusun Beji, Kedu, Kabupaten Temanggung

Dusun Beji, Ingin Damai Kembali


Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung adalah desa yang aman dan tentram. Hawa sejuk senantiasa mengunjugi desa ini. Ditambah kebun tembakau dan jagung yang menambah nuansa hijau.
Tapi, hanya gara-gara peristiwa Jumat (7/8) hingga Sabtu (8/8) ‘keamanan’ Dusun Beji menjadi terusik. Ini karena, gembong teroris Noordin M. Top, bersembunyi di rumah Muhzarin, salah seorang warga Dusun Beji. Tak ayal, ratusan anggota Densus 88, Brimbob, dan Samapta mengepung dusun ini.
Ketenangan di sore itu berubah menjadi keriuhan dan ketegangan. Pengepungan selama 17 jam itu pun menjadi tontonan warga. Tak hanya warga Temanggung yang berdatangan, tapi terdapat juga dari Yogyakarta dan Wonosobo.
Mawardi, dari Janti, Yogyakarta mengatakan dia melihat televise ada pengepungan sarang teroris. “Karena tidak terlalu jauh dari Yogya, saya datang untuk melihat langsung,” ungkap dia yang datang bersama seorang kerabatnya, Sabtu (8/8) pagi.
“Tidak takut, kan banyak juga yang melihat, hanya ingin tahu Noordin bukan atau tidak yang dikepung,” jelasnya. Dia mengaku penasaran dengan Noordin M. Top karena ulahnya yang meresahkan dengan melakukan pengeboman.
Sujati, warga Dusun Beji, mengatakan tidak pernah menyangka ada teroris yang bersembunyi di kampungnya. “Tadi sore (Jumat, 7/8) pas ada dua mobil yang melaju kencang dan berhenti di depan rumah Muhzarin, saya bertanya-tanya, siapa tamunya,” jelasnya.
Setelah ada ratusan polisi yang datang, tersiar kabar Noordin M . Top bersembunyi di rumah Muhzarin. “Sekarang Dusun Beji menjadi terkenal ya mas, tidak hanya di Indonesia tapi hingga dunia,” kata Sujati. Tapi sayang, imbuh Sujati, terkenal bukan karena menjadi juara sepakbola, tapi sebagai persembunyian teroris.
“Semoga tidak ada yang menganggap warga lain sebagai teroris, kami hanya petani,”tegas Sujati. Dia khawatir, semua orang di Dusun Beji dianggap menjadi komplotan Noordin M. Top.
Lurah Desa Kedu, Purnomo Hadi mengungkapkan kejadian ini pasti memiliki efek pada kehidupan warga. “Tapi semoga bukan efek yang buruk, semoga desa ini bersejarah karena bisa menghentikan sepak terjang Noordin,” harapnya.
Sepanjang yang dia tahu, tidak ada orang asing atau pendatang yang menginap di rumah warga hingga berhari-hari. “Kami tidak bisa memantau semua warga, tapi pendataan terhadap warga pendatang terus berjalan,” kata Purnomo. (Dian Ade Permana)

Perajin Bambu Desa Wanurejo

*Perajin Bambu Ukir
Berharap Perluas Pemasaran

MAGELANG (KR) – Perajin bambu ukir di Dusun Gedongan, Desa Wanurejo berharap pemasaran hasil kerajinannya lebih luas. Selama ini, bambu ukir hanya dipasarkan di komplek Candi Borobudur. Jika pun keluar daerah, hanya berlangsung sporadis dan tidak berkelanjutan.
Anto Zaenal Arifin, seorang perajin mengatakan bahwa selama berproduksi sekitar 10 tahun, hasil karyanya hanya dipasarkan di Candi Borobudur. “Mentok di candi, jika pun ada pesanan banyak, tidak pernah berkesinambungan,” ujar Anto kepada KR, Selasa (11/8).
Dia mengatakan pernah berusaha untuk menjual hingga keluar daerah, namun hasilnya tidak menggembirakan. “Di Kiai Langgeng juga tidak laku,” kata Anto. Dia menduga salah satu penyebab ukir bambu tidak diterima masyarakat luas karena motifnya yang monoton.
“Karena kami membuat di sekitar candi, maka motif candi menjadi acuan,” ungkapnya. Selain candi, bentuk wayang dan kaligrafi juga dibuat oleh para perajin. Anto mengharapkan ada pelatihan khusus yang bisa mengembangkan keterampilan dan menambah kreatifitas perajin.
Suradi, perajin lain mengungkapkan dirinya menjual ukir bambu maksimal hingga Yogyakarta. “Mau keluar daerah lagi berat di ongkos,” cetusnya. Pernah, imbuh Suradi, ukir bambu karyanya dijual hingga luar Jawa, namun setelah beberapa waktu, tidak ada kesinambungan.
Dia mengungkapkan selain pemasaran, bahan baku bambu juga mulai sulit dicari. “Mau tak mau, musti mendatangkan dari luar desa agar produksi tetap berjalan,” jelas Suradi. Jika memaksakan bambu yang belum kering, kualitas hasil ukiran menjadi jelek karena kandungan air dalam bambu masih banyak sehingga ketika kering, ukiran akan mengekerut.
Terpisah, Kepala Desa Wanurejo, Dra. Umi Aminah dan Kepala Dusun Gedongan, Soepardi mengatakan pemerintah berupaya melakukan promosi dengan mengikutkansertkan perajin dalam berbagai pameran.
“Kami juga bekerjasama dengan pengelola Candi Borobudur untuk memfasilitasi perajin agar karyanya lebih dikenal masyarakat luas,” pungkas Umi. (Dian Ade Permana)

Wisata Religi Desa Wanurejo

Desa Wanurejo, Garap Wisata Religi

MAGELANG (KR) - Pemerintah Desa Wanurejo Kecamatan Borobudur saat ini mengembangkan wisata religi untuk menarik wisatawan. Adi Winarto, dari Badan Pariwisata Desa Wanurejo mengungkapkan bahwa wisata religi dimulai dari makam pendiri desa, PBH. Tejokusumo, putra Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Adi menuturkan bahwa wisata religi ini dikemas secara paket. “Mulai dari makam PBH. Tejokusumo, bisa dilanjutkan ke para pengikutnya, tergantung permintaan peserta ziarah,” kata Adi kepada KR, Jumat (14/8).
Dia mencontohkan untuk yang menginginkan peningkatan ekonomi, bisa meneruskan ke Eyang Beji. Sementara untuk yang ingin cakap berpolitik dapat mengunjungi makam Citro Lawang. “Semua pengikut PBH. Tejokusumo, 9 orang, makamnya ada di Wanurejo, jika keliling total membutuhklan waktu 1,5 jam,” jelas Adi.
“Jika menginginkan permintaan khusus, ada syarat yang harus dipenuhi sebagai sesaji,” jelas Adi. Sesaji tersebut adalah satu sisir buah raja dan tiga jenis buah, gurame bakar, serta ingkung bakar. Jika peziarah tidak bisa memenuhi, bisa meminta kepada juru kunci untuk menyediakan.
Untuk menyambut peziarah, seluruh juru kunci dan perangkat desa akan memakai busana Jawa. “Kami sangat total untuk wisata religi ini,” tegas Adi. Bahkan untuk ritual khusus, dipilih setiap Jumat Kliwon yang akan dimulai pada 4 September 2009. Meski begitu, juru kunci telah disiapkan jika peziarah datang sebelum ritual.
“Segi spiritual sangat kami jaga, oleh karena itu, peziarah wajib menuruti pesan dari juru kunci,” kata Adi. Fungsi dari juru kunci adalah mediator untuk menyampaikan keinginan peziarah agar terkabul. Jika diiringi niat tulus, peziarah akan mendapat ‘oleh-oleh’ sebagai ‘pegangan’.
Sementara itu, Agus Sumadiono mengungkapkan selain berziarah, ada juga bedug Pangeran Diponegoro yang ada di Masjid Baiturrahman. “Pangeran Diponegoro dan PBH. Tejokusumo masih berkerabat, dalam upaya mengusir penjajah, strategi yang digunakan juga sama,” ungkapnya.
“Wisata religi ini adalah upaya untuk ikut menyangga Candi Borobudur sebagai obyek wisata yang populer,” kata Sumadiono. Menurutnya, wisata religi juga diminati wisatawan mancanegara, terutama Belanda (Dian Ade Permana)

Senin, Agustus 10, 2009

Iwak Kali Laras

Iwak Kali Laras
Karena Beda Bikin Penasaran

Beda. Itulah prinsip pertama yang dipegang oleh Budi Sulistyowati, yang akrab dipanggil Lis (49) ketika membuka Warung Makan Laras, di Jalan Medono, Klebakan, Soropadan, Pringsurat, Temanggung.
Setelah berpikir keras beberapa saat dan usulan Witono, sang suami, menu iwak kali dan menthok menjadi pilihan. “Alasannya, masih jarang yang menjual iwak kali dengan nuansa pedesaan,” cetus Lis kepada KR. Karena menu yang ditawarkan beda, maka konsumen pasti akan memiliki rasa penasaran dan mencoba untuk mengunjungi.
10 November 2007 dipilih sebagai pembukaan Warung Makan Laras. “Satu porsi menu berisi berbagai iwak kali, daun singkong, dan sambal,” ujar Lis. Iwak kali terdiri dari wader, kotes, udang kali, dan melem (sejenis wader namun berukuran besar). Serta ucheng yang dijual terpisah.
“Meski iwak kali dicampur, tapi jika pelanggan menginginkan terpisah juga bisa,” tutur Lis. Untuk daun singkong hanya direbus hingga matang. Sebagai lalapan, imbuh Lis, daun singkong akan lebih lezat jika dikombinasikan dengan rasa yang natural.
Sementara sambal, bisa memilih berdasarkan selera. “Kami menawarkan sambal tomat matang, sambal trasi, atau sambal kosek yang dibuat dari lombok rawit hijau dipadu dengan bawang,” jelas Lis.
Saat ini, iwak kali yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumen mencapai 10 kilogram perhari. “Jika musim liburan, semakin bertambah, apalahi pengunjung keluarga juga banyak,” ungkap Lis.
Untuk menampung penikmat iwak kali, selain bangunan warung induk juga terdapat empat bale-bale. “Sebetulnya kami berencana untuk menambah bale-bale, namun karena setting pertama kali hanya untuk rumah, kami kesulitan mengaturnya,” kata Lis.
“Paling susah saat musim hujan, orang yang menyetori iwak kali tidak mencari karena sungai banjir,” ujar Lis, sembari tertawa. Padahal, kesegaran iwak kali adalah kemutlakan yang tidak bisa ditawar-tawar. Solusinya, Warung Makan Laras hanya menjual sesuai iwak kali yang didapat nelayan.
Terasa nikmat menikmati iwak kali, nasi hangat, sambal dipadu daun singkong, seharga Rp7000. “Selain iwak kali, ada juga rica-rica enthok,” kata Lis. Penasaran?.

Teroris Temanggung

Drama ‘Noordin M. Top’ Berakhir

TEMANGGUNG (KR) – Setelah dikepung selama kurang lebih 17 jam, ‘Noordin M Top’, teroris nomor wahid Indonesia tersungkur terkena peluru pasukan Densus 88. Proses takluknya otak pelaku pemboman di Indonesia itu berlangsung dan mencekam.
Setelah terjadi serentetan tembakan pada Jumat (7/8) malam dan berhenti usai tengah malam, anggota Densus dan Brimob terus berdatangan. Suasana hening pecah pada Sabtu (8/8) sekitar jam 05.00 WIB ketika dua suara desingan peluru diarahkan ke rumah Muhzarin, yang menjadi persembunyian Noordin M. Top.
Tak berhenti disitu, usai tembakan, polisi meledakkan sisi barat rumah Muhzarin. Tak kurang terjadi lima kali tembakan dari atas bukit dan sebelah barat rumah Muhzarin. Pada penembakan pukul 08.15 WIB dan 08.30 WIB polisi bahkan menggunakan senapan mesin.
Tembakan anggota polisi itu berselang-seling dengan ledakan-ledakan kecil. Meski tidak merubuhkan sisi barat rumah, namun terlihat asap pekat mengepul dan memecahkan kaca jendela serta genting-genting berjatuhan. Dari catatan KR, terdapat lima kali ledakan. Pada ledakan yang terakhir, pukul 09.27 WIB, polisi langsung merangsek ke pintu depan rumah dan melakukan serangan.
Pasca masuknya polisi ke dalam rumah ini, terdengar rentetan tembakan. Tak ayal, polisi kembali berhamburan keluar. Penyisiran dari samping rumah pun dilakukan. Gerakan polisi menuju belakang rumah.
Dalam sebuah momentum, tiga orang anggota polisi mendobrak pintu belakang dan terdengar tembakan berulang kali. Tak lama berselang, anggota yang lain memeriksa dalam rumah. Drama berakhir. Teroris dalam rumah dipastikan meninggal.
Meski begitu, hingga saat ini kepolisian tidak bisa dikonfirmasi mengenai identitas orang didalam rumah. Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang meninjau langsung penggerebakan langsung meninggalkan Temanggung tak lama usai proses evakuasi berlangsung.
Jumlah korban pun masig simpang siur. Meski terlihat membawa dua kantong mayat, namun terlihat yang digotong hanya satu jenazah. Setelah evakuasi berlangsung, polisi langsung memasang police line
dan menggeledah rumah Muhzarin. Polisi melakukan identifikasi dan terlihat membawa beberapa barang keluar dari rumah tersebut.

Rabu, Agustus 05, 2009

perajin bambu kesulitan bahan baku

Perajin bambu keluhkan bahan baku


Perajin bambu wulung di Sidodadi, Tegalrejo mengeluhkan minimnya bahan baku untuk memproduksi mebel. Pasalnya saat ini, pesanan dari konsumen terus mengalami peningkatan.

Salah seorang perajin, Supardi mengatakan saat ini hampir setiap minggu memperoleh order sedikitnya satu set mebel. “Jika tidak segera dikerjakan, kami khawatir pelanggan akan berpaling,” ujarnya kepada KR, Senin (3/8). Satu set mebel terdiri dari sebuah meja, kursi panjang, dan tiga kursi pendek dijual seharga Rp450 ribu.

Padahal, untuk memperoleh bambu wulung berkualitas baik harus berusia minimal dua tahun. “Itu juga harus ditebang pada bulan April atau Mei dan musim peteng atau tidak bulan purnama,” kata Supardi. Jika ditebang saat bulan purnama, kualitas bambu tidak baik karena termakan rayap.

“Selama ini bambu diperoleh dari sekitaran Magelang,” ungkap Supardi. Jika terus ditebang tanpa perhitungan, maka kualitas bambu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bambu yang masih muda apabila dibikin mebel akan mudah mengkerut dan tidak awet.

Para perajin mencoba mengantisipasi dengan menyetok bambu. “Tapi karena pesanan datang terus menerus, tetap saja kebutuhan itu kurang,” jelas Supardi. Apalagi pemasaran mebel bambu tidak hanya di seputaran Jawa Tengah dan DIY, tapi merambah Kalimantan dan Palembang. Pasar luar negeri juga pernah dicoba, tapi karena pengemasan tidak baik, bambu menjadi pecah.

Lebih lanjut, untuk membuat mebel dibutuhkan minimal 10 batang bambu yang berukuran besar. “Karena masih manual, waktu pembuatan sekitar satu minggu,” tandas Supardi. Lamanya waktu pembuatan ini dikarenakan mebel bambu membutuhkan ketelitian dan kekuatan.

Supardi mengungkapkan pemasaran kerajinan mebel bambu wulung ini bersifat individual. “Hanya langganan lama yang masih mengambil barang, selain itu pembuatan juga berdasar pesanan konsumen,” tandas dia.

Darsih..terbang dengan layang-layang

Darsih, biayai kuliah anak dari layang-layang


Deretan layang-layang aneka warna itu tersusun rapi di pinggir Jalan Raya Magelang-Yogya. Seorang perempuan baruh baya terlihat berungkali merapikan layang-layang yang lepas dari tali pengaitnya.
Darsih (52), nama perempuan itu, warga Blondo, Gedongan yang sudah 10 tahun menjual layang-layang kain di tepi jalan. Meski mengakui penghasilan dari menjual layang-layang tidak begitu besar, namun karena ketekunannya, tiga orang anaknya kuliah dengan biaya yang berasal dari layang-layang.
“Dua orang anak laki-laki di UGM dan yang satu perempuan di IKIP Jogja,” kata Darsih. Ketiganya saat ini sudah lulus dan bekerja. Dia mengatakan anaknya sempat melarang untuk berjualan di tepi jalan, tapi demi memenuhi kebutuhan rumah tangga, dia tetap memproduksi layang-layang kain.
Darsih mengatakan membuat layang-layang kain tidaklah sulit. “Bahan utamanya cuma bambu dan kain,” jelas Darsih. Proses pembuatan juga berlangsung singkat. Bambu sebagai rangka dibersihkan dan dipotong sesuai ukuran yang diinginkan.
Sementara kain parasit dipotong mengikuti pola bambu yang sudah terbentuk. “Setelah kain dan bambu tersedia, tinggal dilem dan dikasih kepala.,” jelasnya. Saat ini, kepala naga dan kepala burung menjadi favorit pembeli yang kebanyakan berasal dari luar kota.
“Untuk kepala bahan dari spon berukuran dua mili,” ungkap Darsih. Kepala yang menjadi maskot layang-layang ini dibuat oleh Midwaluddin, suami Darsih. Jika membeli kepala yang sudah jadi, harganya Rp5000 per kepala.
Ketika kain dan rangka serta kepala sudah menyatu, maka tinggal dilakukan finishing dan mengikat layang-layang agar mudah diterbangkan. “Tahap akhir pengerjaan juga dilakukan sendiri, meski kadang untuk mengecat membutuhkan bantuan orang lain,” tutur Darsih. Ongkos pengecatan berkisar antara Rp1000 hingga Rp5000.
Pendapatan Darsih yang berjualan sejak pukul 09.00 WIB ini tidak menentu. “Kadang sehari laku empat, kadang tidak laku, tapi paling ramai jika musim liburan dan banyak mobil dari luar kota,” tandas Darsih. Layang-layang kecil dijualnya Rp10.000. Sementara ukuran satu meter seharga Rp40ribu.