Selasa, Juli 07, 2009

Bhumi Rasta Merdeka Permana


Bhumi Rasta Merdeka Permana,
22 Juni 2009, 15.41 WIB

lahir di waktu Ibu Kota Negara ini merayakan ulang tahunnya..
ditengah gegap gempita para calon presiden dan wakilnya meraih simpati untuk menggalang dukungan agar menjadi pemimpin Republik Indonesia..
lihat itu nak, mereka yang mengaku sebagai pemimpin dengan arogan mengaku karena 'dirinyalah' negara ini menjadi seperti ini..padahal, asal kau tahu nak, negara ini jauh dari kata baik. kata suci "Demokratis" yang diagungkan pun, tampaknya jauh dari harapan..
tidak..aku tidak ingin engkau seperti mereka, jadilah yang kau mau..jadilah manusia yang berarti untuk orang tuamu..itu saja. tak kan ada beban agar kau menjadi miniatur seperti mereka..jadilah merdeka nak..engkau Merdeka untuk menentukan dirimu sendiri..
lakukan kemerdekaanmu dengan tanggung jawab..
MERDEKA!!!!!!!

Berita : Mingguan


*Simoeh Car Leather
Berkembang karena kritik

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Sebagian orang merasa alergi dengan kritik. Karena merasa sempurna, maka kritik tidak akan diterima. Tapi tidak semua kritik itu jelek. Karena dengan memperoleh kritik, berarti masing ada yang kurang. Prinsip inilah yang dipegang oleh Muhammad Istadi alias Simoeh, pemilik Simoeh Car Leather.
Bagi dia, karena sering dikritik, usahanya saat ini menjadi berkembang. “Bahkan awal mula berdirinya Simoeh Car Leather ini, sering tidak dibayar konsumen,” kata Simoeh, di bengkelnya, Jalan Palagan Tentara Pelajar, Selasa (7/7).
Di 1999, jelas Simoeh, dia menjalankan usaha kayu, mebel, dan jok mobil. “Saat itu tidak ada yang ditekuni, tapi semua dicoba,” ujar Simoeh. Dia melirik usaha jok mobil karena melihat di Jogja pada saat itu tidak ada usaha serupa. Kalaupun ada, hanya sekelas kaki lima dan tidak digarap dengan serius.
Semakin tahun, banyak konsumen yang berdatangan. “Mulanya hanya ada empat orang karyawan yang bekerja serabutan,” kata jebolan UII ini. Karena pesanan terus menumpuk, penambahan karyawan tak terelakkan. Setelah 10 tahun, karyawan Simoeh Car Leather berjumlah 30 orang dengan spesialisasi masing-masing.
“Promosi dari konsumen ke konsumen,” jelas Simoeh. Awal mula, untuk satu mobil membutuhkan waktu penggarapan tiga hingga empat hari. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih, dalam satu hari bisa menyelesaikan tujuh mobil.
Simoeh mengungkapkan semua bahan baku dan peralatan distok dari Jakarta. “Mulai dari mesin jahit khusus jok, kulit pembungkus, lem dan benang didatangkan dari Jakarta,” ungkapnya. Dia mengaku tidak pernah mengalami kesulitan untuk pengadaan barang karena hanya dalam tempo satu hari pesanan sudah terkirim.
“Komitmen kami adalah menjaga kualitas dan persaingan harga,” tandas Simoeh, ketika ditanya resep usahanya bisa bertahan. Bahkan untuk menegaskan menjaga kualitas pekerjaan, Simoeh tidak segan-segan turun langsung mengontrol pekerjaan karyawannya. Dengan begitu, segala kekurangan dapat segera dibenahi dan komplain dari konsumen teratasi.
Simoeh menganggap perfectsionist adalah kunci dari bisnis yang dijalankannya. “Jika ada kekurangan, pasti akan mendapat teguran dan kritik, kami berusaha meminimalisir kesalahan,” ungkapnya. Bagi dia, promosi melalui konsumen adalah media yang paling efektif. Oleh karenanya, dia berusaha tidak membuat kesalahan dalam memberi pelayanan.
“Kami berusaha untuk pro aktif dalam menyelesaikan setiap keluhan konsumen,” tutur Simoeh. Menurutnya, kritik adalah sebuah motivasi untuk terus memperbaiki diri. Untuk sebuah pelayanan, dia mengaku siap rugi bagi kepuasan konsumen.
Proses pengerjaan dimulai dari pelepasan semua jok yang kan diganti kulitnya. “Setelah lepas, karyawan akan nge-mal, mengukur, dan menggambar sesuai permintaan,” jelas Simoeh. Setelah itu, jika ada rangka yang rusak diperbaiki dengan dilas.
Usai pemotongan sesuai ukuran, petugas penjahit mulai beraksi. “Jika sudah beres, tinggal dipasang kembali,” ungkapnya. Dia mengaku selalu berdiskusi dengan karyawannya untuk proses pengerjaan, dengan demikian, kontrol terhadap pekerjaan dapat dilakukan.
Disinggung mengenai biaya, Simoeh mengatakan tergantung kualitas bahan yang dipilih oleh konsumen. “Untuk yang kulit asli, harga mulai Rp5 juta hingga Rp15 juta,” jelas dia. Pergantian jok mobil jenis sedan, harga mulai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Sementara minibus, dihargai mulai Rp1,2 juta. Agar tidak ketinggalan model-model jok terbaru, Simoeh mencari referensi dari majalah terbitan luar negeri dan browsing di internet.

Berita : Big Reds Jogja


*Big Reds Jogja
You'll Never Walk Alone

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

When you walk thourgh a storm
hold your head up high
and don't be afraid of the dark
at the end of a storm
there's a golden sky, and the sweet silver song of a lark
walk on through the wind, walk on the through the rain
though your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on, with hope in your heart, and you'll never walk alone...You'll never walk alone

Itulah lirik You'll Never Walk Alone yang menjadi lagu kebangsaan bagi seluruh penggemar klub sepakbola asal Inggris, Liverpool. Lagu ini mula-mula hanya terdengar di Stadion Anfield, kandang Liverpool. Namun setelah penggemarnya menggurita, syair itu pun dihapal oleh seluruh Liverpuldian di seluruh dunia.
Sekarang, lagu itu tidak hanya dinyanyikan di Anflied. Di Jogja pun, kala Liverpool bertanding, dengan lantang anggota Big Reds Jogja mengumandangkannya. Big Reds adalah Indonesian Official Liverpool Football Club Suppoters Club alias kumpulan suporter The Kop di Indonesia yang telah memperoleh lisensi resmi.
Redi S. Hamdani, Korwil Big Reds Jogja, mengatakan secara nasional Big Reds berdiri pada 28 Desember 1999. “Big Reds Indonesia mendapat lisensi pada 18 Oktober 2004,” jelas Redi. Untuk Korwil Jogja, resmi bergabung pada 2005.
“Untuk mengumpulkan anggota dan bergabung secara resmi, susah-susah gampang tapi tetap perlu perjuangan,” jelas Redi. Dia berkisah, pada awal mula berdiri, dirinya selalu menyambangi tempat digelarnya acara nonton bareng yang menyiarkan Liverpool. Dari sini, terlihat antusiasme pendukung.
Dari lima orang, anggota Big Reds terus berkeliling dari satu lokasi Nonbar ke lokasi lainnya. “Tujuannya mencari anggota baru,” ungkap Redi. Selain dari acara Nonbar, perekrutan anggota juga bergerilya dari kos ke kos dan kampus. Saat ini, anggota resmi ada 80 orang.
Setiap jeda kompetisi adalah masa yang 'melelahkan' karena tidak ada acara pemersatu anggota. Namun, Big Reds mengadakan kegiatan non sepakbola untuk menjalin keakraban. “Apa saja yang penting bisa bersama, mulai dari paint ball, rafting, nonton, bioskop, atau futsal,” tandas Redi. Kegiatan rutin adalah futsal tiap Selasa malam.
Kegiatan Big Reds Jogja termasuk bejibun. “Selain mengadakan kunjungan antar Korwil, saat bulan puasa, kita melakukan kegiatan sosial,” jelas Redi. Dia mengungkapkan, Big Reds juga menjalin silaturahmi dengan suporter klub lain.
“Di Big Reds, kita bisa tukar informasi, termasuk tahu paling awal mengenai perkembangan Liverpool,” jelas Redi. Bagi pencinta Liverpool, menjadi satu kebanggaan tatkala memperoleh informasi lebih awal dan lebih lengkap dibanding yang lainnya. Sarana informasi anggota Big Reds adalah majalah Walk On Reds Letter.
Aji Wibowo, Humas Big Reds Korwil Jogja, menambahkan sebagai bukti loyalitas kepada Liverpool, setiap tahun ada program dari Big Reds yang mengirim anggota untuk menonton pertandingan ke Stadion Anfield secara langsung. “Tapi akomodasi ditanggung sendiri,” cetusnya. Big Reds hanya akan memfasilitasi anggota.
“Jika ada Liverpool tour Asia, anggota Big Reds Jogja selalu ada perwakilan untuk menonton,” ungkap Aji. 26 Juli mendatang, empat orang anggota Big Reds Jogja berangkat ke Singapura untuk menonton Liverpool bertanding.
Bagi Aji prestasi Liverpool yang tidak stabil bukan alasan untuk tidak memberikan dukungan. “Ini soal loyalitas dan kebanggan, kami yakin Liverpool akan memperoleh hasil terbaik, pemainnya juga sudah cukup mumpuni untuk meraih juara,” tandas penggemar Steven Gerrard ini.

Berita : 8 Juli 2009


*Buruh gendong Pasar Giwangan
Berebut tapi tetap rukun

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Puluhan perempuan tua yang duduk-duduk di emperan tenda tiba-tiba berlari mendekati mobil pick-up yang mengangkut sayuran. Menantang panas dalam keriuhan suara, mereka beradu cepat mengambil puluhan karung sayur dan mengangkatnya. Tak kurang dari 15 menit, isi mobil itu telah terkuras.
Salah satu perempuan yang mengangkut karung sayur tadi Nardi Wiyono, warga Petoyan, Panggung, Wonosari, Gunungkidul. Ibu tiga anak ini sudah empat tahun menjadi buruh gendong di Pasar Giwangan. Awalnya, dia bertani. Tapi karena hasil panen tidak bisa dikompromi, turun ke kota adalah pilihan yang dilakoni.
“Tani sepi mas, namung tumut tiyang,” ujar Nardi sembari membuang peluh dengan bajunya. Tuntutan membiayai kehidupan keluarga membuatnya menuruti ajakan tetangga untuk menjadi burung gendong. Meski penghasilan tidak menentu, namun setidaknya, penghasilan Rp15 ribu menjadi tabungan untuk kembali ke desa.
Dengan menghela nafas, tanda kecapekan usai mengangkut karung, Nardi melanjutkan ceritanya. “Ne ngangkat kintalan, rodo mending mas, saget borongan,” tutur dia. Untuk satu karung yang diangkut dalam hitungan kuintal, buruh mendapat upah antara Rp2000 hingga Rp3000. Namun jika hanya satuan, tiap karung yang diangkut, buruh mendapat Rp1000. Tergantung kesepakatan dengan pemilik sayur.
“Kerja jadi buruh,” kata Nardi, “Sing paling penting njogo awak, tetep kuat, ne ra kuat ora mangan,” ujarnya dengan tergelak. Kerja mulai dari pukul 14.00 WIB hingga 21.00 WIB sangat menguras tenaga. Kekuatan adalah kunci bagi Nardi dan puluhan buruh gendong lain untuk mengais rejeki. Tanpa kekuatan otot, mereka akan tergilas dan uang tak kan dimiliki.
Selain kekuatan, para buruh juga mesti berebut dengan rekannya. “Sopo sing cepet, kui sing entuk karung,” lirih Nardi. Terkadang, dalam perebutan rejeki tersebut, ketegangan antar buruh terjadi. Tak jarang, adu mulut karena merasa paling berhak atas karung-karung mengemuka.
Untuk mengendorkan ketegangan, sekali dalam sebulan, para buruh gendong Pasar Giwangan berkumpul dan mengadakan arisan. “Mboten kathah, sing penting guyub,” derai Nardi. Dengan Rp5000, segala perselisihan karena karung menjadi lebur dalam semangat untuk hidup rukun.
Sadar pendapatan yang diperoleh tak seberapa, Nardi mensiasati dengan membayar uang kos perhari. “Ne perhari niku, saumpomo wangsul ting Gunungkidul, mboten sak mbayar,” tandasnya. Harga sewanya, Rp3000 perhari.
Narti, seorang buruh yang lain mengatakan, meski terlihat santai namun tetap ada aturan tidak tertulis yang musti ditaati. “Jika truk besar, itu jatahnya buruh angkut laki-laki,” jelas Narti. Setelah buruh laki-laki menurunkan semua karung, giliran buruh perempuan mengambil alih.
“Peraturan ini agar tidak ada buruh yang iri, yang penting, semua bisa makan,” ungkap Narti. Dia beranggapan, rejeki sepenuhnya berada ditangan Tuhan. Sementara, manusia hanya harus berusaha...