Rabu, April 15, 2009

Setarakan

Rayakan semua situasi dengan sama.
Jangan arogan atau pilih kasih terhadap situasi yang berbeda.
Perlakukan semua dengan sama.
Nilai keadaan yang terjadi adalah setara.
Tidak ada yang lebih. Satu terjadi, sama dengan dua yang terjadi
Meski juga berlangsung bertubi-tubi, itu sama...

jika memang dibutuhkan menangis, menangislah..
kalau memang ingin tertawa, tertawalah..

ada batas yang tidak bisa dilawan...
pemberontakan tidak harus berhasil..

Kalla Demokrat tinggalkan Mega

Pagelaran Pemilu legislatif telah usai. Partai Demokrat menunjukkan tajinya dengan memperoleh suara dikisaran 20%. Meski diwarnai dengan berbagai kegagapan dari penyelenggara Pemilu, namun itulah hasil terbaik yang bisa dicapai dari pagelaran lima tahunan ini.
Kemenangan Demokrat menunjukkan para pemilih mulai menempatkan rasionalitas diatas fanatisme. Dua partai yang lebih senior dan memiliki basis massa yang terikat secara emosional, Partai Golkar (PG) dan PDIP, hanya mampu meraih suara diangka 14%.
Keberhasilan Demokrat dikarenakan “kerja nyata,” sesuatu yang hampir tidak pernah dilakukan oleh PG dan PDIP kala berkuasa. Dari PDIP yang menyebut dirinya sebagai partai wong cilik, perhatian kepada rakyat tidak pernah didaratkan dalam bentuk nyata dan riil.
Demokrat dengan SBY-nya menyambut tantangan ini dengan menggelontorkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sesuatu yang dikritik Megawati. Namun ini adalah sebuah langkah blunder, apalagi dimasa jelang 9 April 2009, PDIP menyatakan akan mengawal pembagian BLT. Tindakan yang terlambat, karena rakyat sudah memiliki pikiran, Rp300 ribu adalah jumlah uang yang cukup besar untuk kebutuhan sehari-hari dan jumlah yang sangat kecil bagi Mega...
Dari PG yang dipenuhi basis pengusaha, Demokrat menciptakan langkah kenyamanan bagi para pengusaha dengan ketegasan memberantas korupsi. Meski kasus korupsi tidak sepenuhnya tuntas, namun, keberanian memeriksa Aulia Pohan, sang besan, menunjukkan bahwa SBY tidak segan lagi menunjukkan tidak ada kekebalan hukum.
Sekarang, Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah magnet untuk pemilihan presiden. Jusuf Kalla dan Golkar kebingungan menentukan arah. Selain ada desakan evaluasi untuk Ketua Umum karena hasil yang jeblok, Akbar Tanjung dan Sri Sultan Hamengku Buwono X, masih mengintip peluang melalui penjaringan...
Megawati dan partai medioker lainnya kalang kabut. Kala Jusuf Kalla mengunjungi SBY, Mega menggalang pertemuan dengan 10 tokoh untuk menggugat pelaksanaan pemilu. Tidak ada arah pasti yang akan dituju. Dia seolah ditinggal oleh JK yang telah lebih dahulu menentukan piagam bersama sebelum pemilu legislatif lalu, yang tampak seperti koalisi prematur.
Ada situasi panik. Mega mulai menggaet petinggi partai lain untuk menghadang SBY. Upayanya untuk mecegah kongsi SBY-JK nampaknya tidak berjalan mulus. Yang ditempuhnya, mendekat pada “kader” PG yang tidak searah dengan JK; Sultan, Wiranto, dan Prabowo
Memang diakui, KPU terlihat sangat tidak siap dengan even besar menjadi tanggung jawabnya. Mulai dari masalah DPT hingga kertas suara dan pembagian logistik. Tapi, rakyat butuh tindakan dari para pemimpin yang mampu mengayomi. Dan ini yang dengan cerdas dilakukan oleh SBY. Nada bicara yang tenang, santun, dan wibawa serta kharismanya, mampu membius masyarakat hingga mendongkrak suara Partai Demokrat hingga 300%.
Sekarang, intropeksi dan bersiap untuk pemilihan presiden adalah langkah bijak. Otak-atik demi mencari pasangan terbaik boleh dilakukan demi sebuah perhitungan matang. Lakukan semuanya untuk Indonesia...

Berita : 15 April 2009

*Kasus korupsi buku ajar Kabupaten Sleman
PuKAT nilai Kejati tidak serius

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

DEPOK : Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKat) Universitas Gajah Mada (UGM) menilai Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kejati DIY) tidak serius dalam menangani kasus korupsi buku ajar dengan tersangka Ibnu Subiyanto, Bupati Sleman.
Pasalnya, Ibnu tidak ditahan oleh kejaksaan. Menurut Direktur PuKAT, Zainal Arifin Mochtar, alasan ketiadaan surat izin dari presiden untuk melakukan penahanan adalah mengada-ada. “Itu langkah yang tidak masuk akal dan aneh,” ujar Zaenal, kemarin.
Dia mengatakan, izin presiden untuk pemeriksaan dan penahanan itu satu paket. “Dalam artian, jika sudah ada izin pemeriksaan, maka dapat pula digunakan untuk melakukan penahanan,” terang Zaenal. Menurutnya, dengan sudah adanya surat izin, maka bisa ditentunkan statusnya, hanya sebagai saksi atau tersangka.
“Jika memang tidak ditahan, nonaktifkan Ibnu Subiyanti sebagai Bupati,” desak Zainal. Bagi dia, dengan semakin melajunya kasus korupsi buku ajar ini, Ibnu harus menanggung konsekuensi moral sebagai seorang pemimpin.
Zainal menilai, pemimpin daerah musti menegakkan keadilan dan mencontohkan kebaikan, bukan malah menjadi tersangka kasus korupsi yang merugikan rakyat. Bagi dia, masyarakat sudah kehilangan kepercayaan kepada Ibnu meski kasus belum diputuskan.
“Bagaimana dia akan memimpin rakyatnya, terus kita sebagai rakyat tentu tidak akan mau dipimpin seorang tersangka korupsi,” tegasnya. Dia membandingkan penanganan kasus Sleman dengan Temanggung dan Kabupaten Semarang. Dimana Bupati Kabupaten Semarang, Bambang Guritno dan Bupati Temanggung, Totok Ari Wibowo, yang langsung ditahan.
Terpisah, nada kekecewaan juga diungkapkan Syarifudin M. Kasim, Kabid Investigasi Jogja Corruption Watch (JCW). “Keputusan tersebut jelas memperlihatkan sikap Kejati DIY yang kurang serius dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat di DIY,” tegasnya.
“Kejaksaan memberlakukan sistem tebang pilih dalam menangani kasus korupsi, Ibnu harus ditahan paksa,” desak Syarifudin. Menurut dia, kejaksaan hanya berani menahan dan mengungkap kasus-kasus dengan tersangka yang tak berpengaruh.
Menurut Syarifudin, kejaksaan sangat lunak dalam menangani kasus Ibnu Subiyanto. “Ketika berhadapan dengan pejabat, kejaksaan tidak tegas,” pungkasnya.