Jumat, Agustus 21, 2009

TPA Banyuurip Magelang

MAGELANG (KR) - Pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Banyuurip, Tegalrejo, Kabupaten Magelang mengaku dilematis dengan pekerjaan yang dilakoninya. Sebagai sumber penghidupan, TPA ini juga sarang penyakit.

Erwin (56), pemulung yang telah beroperasi sejak TPA ini berdiri pada 1993 mengatakan, selain benda-benda tajam yang mengancam kaki pemulung, sakit di saluran pernafasan juga terkadang dirasakan.

Dia menuturkan bahwa sejak memutuskan sebagai pemulung telah sadar dengan resiko yang dihadapi. “Jika tidak kerja, tidak makan, jika kerja, resiko gangguan kesehatan mengikuti,” kata Erwin. Gangguan lalat akan semakin menjadi ketika musim hujan tiba.

Terpisah, Kepala Desa Banyuurip, Sudiyanto mengatakan pro kontra mengenai keberadaan TPA tersebut memang sudah berlangsung lama.

“Warga yang sebagai pemulung mendapat uang, yang lain terganggu karena bau dan lalat,” ungkapnya. Dia juga mengkhawatirkan adanya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang membayangi warga Desa Banyuurip. Sudiyanto berharap ada solusi terbaik bagi warga dan pemerintah desa agar permasalahan TPA tidak meluas.(Dian Ade Permana)

Upacara HUT Proklamasi Seniman Borobudur

*Seniman Borobudur

Upacara Dengan Pakaian Jawa



MAGELANG (KR) – Sekitar 500 orang seniman dan anak-anak di Kecamatan Borobudur mengikuti upacara peringatan Proklamasi Indonesia di Lapangan Pondok Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, kemarin.

Ganang Tri Laksana, dari Asosiasi Kesenian Rakyat Borobudur (Askrab), mengungkapkan tema upacara kali ini adalah ‘Indahnya Indonesiaku.’ Peserta upacara sendiri terdiri dari 15 kelompok kesenian dan anak-anak.

“Semua peserta harus menggunakan pakaian adat Jawa,” ungkapnya. Menurut Ganang, upacara dengan pakaian Jawa ini bertujuan agar anak-anak semakin mencintai budaya asli daerahnya.

Dia mengatakan bahwa momentum proklamasi ini dapat digunakan untuk menggugah kembali kesenian rakyat. “Anak-anak harus dikenalkan sejak dini dengan jathilan dan topeng ireng agar tidak tergerus zaman,” ungkapnya. Ganang menyakini bahwa dengan mencintai budaya asli daerahnya sama dengan memupuk jiwa nasionalisme.

Sementara itu, Umar, penggiat Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) mengatakan bahwa upacara dengan adat ini dimaksudkan untuk mendapatkan kebahagiaan.

“Upacara jangan hanya menjadi acara seremonial dan paksaan semata, tapi harus menghadirkan kebahagiaan,” kata Umar. Dengan adanya kebahagiaan, maka kesadaran untuk mencintai tanah air dilakukan dengan sepenuh hati.

Eko Sunyoto, seniman PSP Budiluhung menjelaskan, selain upacara, juga digelar lomba estafet egrang dan lari naik kuda lumping. “Mainan tradisional adalah pintu gerbang untuk mencintai Indonesia,” tegas Eko.

“Diharapkan dengan acara Indahnya Indonesiaku ini, rakyat Borobudur dapat benar-benar berpesta dan menikmati kemerdekaannya,” pungkas Eko. (Dian Ade Permana)

Tenggok Raksasa MURI

Tenggok Raksasa Pecahkan Rekor MURI



MAGELANG (KR) – Tenggok raksasa buatan warga Dusun Kopeng, Kapuhan, Kecamatan Sawangan memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI). Tenggok tersebut berukuran tinggi 3 meter dan alas seluas 2 meter.

Agung Nugroho dan Budiono selaku pemekarsa mengatakan dasar pembuatan tenggok ini adalah untuk mengangkat derajat masyarakat Dusun Kopeng. “Semua warga Dusun Kopeng adalah pembuat tenggok, tapi kesulitan pemasaran dan kesejahteraannya minim,” kata Agung, di Balai Desa Kapuhan, Rabu (19/8).

Dia berharap agar dengan adanya tenggok raksasa ini warga memperoleh bantuan dari pemerintah, utamanya dalam modal dan pendampingan. “Dulu pernah ada sekali pelatihan, tapi setelah itu tidak ada kelanjutannya,” ujar Agung.

Ide pembuatan tenggok raksasa ini berawal dari beberapa warga yang membuat tenggok ukuran besar. “Ukurannya 90 centimeter dengan tinggi 1 meter,” ungkap Agung. Tenggok ini dibuat pada Kamis (13/8).

Karena dirasa tanggung, warga berinisiatif membuat tenggok yang lebih besar. “Akhirnya, pada Minggu (16/8) pukul 7 pagi hingga Senin jam 19.00 WIB, semua warga membuat tenggok raksasa ini,” jelasnya. Dengan waktu istirahat pada pukul 01.00 hingga 06.00 WIB.

Untuk membuat tenggok raksasa ini dibutuhkan 35 bambu. “Jenisnya adalah pring apus,” kata Agung. Warga yang turut membuat sebanyak 300 orang. Biaya pembuatan tenggok raksasa ini, mulai bahan hingga tenaga, menelan biaya Rp7,5 juta.

Jika ukuran normal, tenggok digunakan untuk mengangkut pasir atau salak, karena pemasarannya terbatas di wilayah Magelang dan Sleman. “Harganya berkisar antara Rp5000 hingga Rp15.000,” kata Budiono.

Meski telah terdaftar dalam rekor MURI sebagai tenggok terbesar di Indonesia, namun sertifikat belum diterima warga. “Untuk biaya registrasi butuh biaya Rp8 juta, kami sedang mengusahakan agar segera mendapat dana,” kata Agung. Dia mengaku sudah mengusahakan dana dari instansi dan pemerintah. Namun karena terbentur masalah birokrasi, hingga saat ini dana belum dapat cair.

Sumar, Kepala Dusun Kopeng, mengaku bangga dengan karya warganya yang berhasil membuat tenggok raksasa. “Semoga ini bis menjadi momentum kebangkitan ekonomi untuk warga Dusun Kopeng,” pungkasnya. (Dian Ade Permana)