Kamis, September 10, 2009

Perajin Batu Kesulitan Bahan Baku

*Perajin Batu Gondangwangi

Dilarang Pakai Alat Berat, Kesulitan Bahan Baku



MAGELANG (KR)- Akibat dilarang menggunakan alat berat, perajin batu kesulitan mendapatkan bahan baku. Tusirah, pemilik Kriyayogya, di Dusun Penggaron Kidul, Desa Gondangwangi, Sawangan mengungkapkan pelarangan tersebut sudah berlangsung sekitar enam bulan.

Dia yang telah menjadi perajin batu selama 20 tahun, mengatakan setelah pelarangan tersebut, batu yang diperoleh menjadi tidak pasti. “Sekarang harus menunggu terlebih dahulu, tidak bisa langsung mendapatkan batu,” jelas Tusirah.

Padahal, imbuh Tusirah, kerajinan batu yang diproduksinya diekspor hingga ke Belanda. Menurutnya, semenjak ada pelarangan tersebut, pengiriman ke Belanda menjadi terganggu karena ketiadaanya bahan baku.

Tusirah mengatakan bahwa untuk ekspor ke Belanda, yang dipilih adalah batu yang berkualitas baik. “Jika batu lunak, hanya untuk kerajinan dalam negeri, seperti lampion dan asbak,” jelas dia. Untuk ekspor ke Belanda, dalam tiga bulan minimal 300 jenis yang bisa terkirim.

“Memang kondisi ini menjadi dilematis, jika menggunakan alat berat, lingkungan menjadi rusak,” aku Tusirah. Namun tanpa alat berat, penghasilan perajin mengalami penurunan. Hal ini disebabkan untuk mendapat batu harus menunggu kiriman datang, tapi waktunya pun tidak menentu.

Istri Asngari ini mengungkapkan pelarangan dengan menggunakan alat berat ini menjadikan harga batu menjadi lebih murah. “Untuk kualitas yang biasa, dulu sewaktu penambangan dengan begu untuk satu rit, harganya Rp500 ribu,” kata Tusirah. Sekarang, berkisar antara Rp230 ribu.

“Sekarang adalah saat-saat sulit mendapatkan batu dan pembeli,” kata Tusirah. Menurutnya, penjualan mengalami peningkatan pada saat lebaran dan liburan. Biasanya, imbuh Tusirah, usai berwisata di Puncak Ketep, wisatawan dari luar kota tertarik dengan kerajinan batu untuk dijadikan oleh-oleh ke daerah asal.

Untuk harga sendiri, menurut dia, tidak ada perbedaan dengan sebelum ada pelarangan penggunaan alat berat. “Semua masih sama,” bukanya. Untuk cobek, berkisar antara Rp10ribu hingga Rp80ribu. Sementara lampion, mulai Rp70ribu. (Dian Ade Permana)

Charly ST12 : Borobudur Adalah Mahakarya

MAGELANG (KR) – Bagi Charly, vokalis ST12, Candi Borobudur adalah mahakarya yang tidak ada bandingannya di dunia ini. “Ini adalah keajaiban dunia hasil karya manusia Indonesia,” ungkapnya di sela-sela konser One Night in Borobudur, Sabtu (8/9).
“Candi Borobudur adalah sejarah besar yang sangat luar biasa,” kagum pelantun Cari Pacar Lagi ini. Dia mengaku tak habis pikir, bagaimana manusia zaman dahulu bisa ‘menata’ batu hingga menjadi karya yang tidak ada duanya.
Menurut pemilik nama asli Moch. Charly van Houten yang lahir 5 November 1981, Candi Borobudur bagi dirinya tetap merupakan keajaiban. “Suka atau tidak suka, ini adalah anugerah yang tidak ada duanya,” tegas Charly.
Bahkan dengan nada bercanda, Charly mengaku siap mengajak ribut orang yang merendahkan Candi Borobudur. “Gille apa, Candi sebesar dan semegah ini tidak masuk kategori ajaib, kalau mau ngajak ribut gue ladenin,” ungkapnya sambil tertawa.
“Main dan menghibur penonton dengan latar belakang Candi Borobudur dimalam hari sungguh sangat mengasyikkan,” kata Charly. Menurut dia, pengalaman bermain di area Candi Borobudur adalah hal yang mengasyikkan. Suasana temaram, imbuhnya, menjadikan lagu-lagu ST12 bertambah syahdu.
Dia menambahkan, keramahan masyarakat adalah nilai jual untuk Candi Borobudur. “Banyak obyek wisata yang ditinggalkan karena masyarakat sekitar bersikap semau gue, disini (Candi Borobudur) sudah memiliki potensi, harus terus dijaga,” saran Charly.
Disinggung soal kesibukan ST12 sendiri, band yang juga diawaki Ilham Febry alias Pepep (drum) dan Dedy Sudrajat alias Pepeng (gitar) ini masih sibuk manggung dari kota ke kota.
“Kita masih menyelesaikan tour dan manggung dari kota ke kota untuk promosi album terbaru,” pungkas Charly. (Dian Ade Permana)