Jumat, Mei 22, 2009

Berita : 22 Mei 2009

*Kasus sengketa tanah

Warga Gampingan geruduk PN Jogja

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja


UMBULHARJO : Sekitar 50 orang yang tergabung dalam Paguyuban Warga Gampingan (PWG) mendatangi Pengadilan Negeri Yogyakarta, kemarin. Mereka berharap hakim yang menangani kasus sengketa tanah mengkedepankan nurani dalam membuat keputusan.
Koordinator PWG, Bejo Wiyatno mengatakan tanah yang dimiliki oleh 10 KK telah diklaim secara sepihak oleh Pardinem, Poniyem, dan Ngatini menjadi milik mereka dengan dasar sertifikat tanah yang diterbitkan 1992 lalu.
“Padahal kami tinggal di Gampingan sudah 70 tahun,” ujar Bejo. Dan selama itu, warga selalu membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Menurut Bejo, hanya pemilik tanah yang membayar PBB.
Dia mengaku sudah menelusuri asal-usul kepemilikan sertifikat tanah yang dipegang oleh ketiga penggugat. “Kami juga sudah mencoba di Badan Pertanahan Nasional, namun selalu birokratis dan berbelit, kami kesulitan memperoleh data,” tandas Bejo. Tanah yang diakui milik Pardinem, Poniyem, dan Ngatini seluas 1227 meter persegi.
Bejo menegaskan bahwa dalam UU Pokok Agraria dikatakan apabila selama 25 tahun telah menempati suatu bidang tanah dan tanpa ada komplain, maka tanah menjadi hak warga. “Kami sudah puluhan tahun dan tidak ada masalah,” kata dia. Disinggung mengenai dasar kepemilikan tanah milik warga, Bejo mengaku hanya berpegang pada data penempatan yang ada dikelurahan.
Seorang warga lain, Winarti menganggap penggugat adalah perampok tanah yang disilaukan dengan harta. “Saya yakin mereka memiliki sertifikat tanah dengan cara yang kotor dan menyogok,” ungkap Winarti dengan berurai air mata.
Sementara itu, Komari, Ketua PN Yogyakarta, menyesalkan warga yang berunjuk rasa di pengadilan. “Mereka harusnya bicara baik-baik, kita siap berdialog dan menampung aspirasi warga,” jelas Komari. Menurutnya, pesan yang disampaikan warga akan lebih efektif jika disampaikan secara elegan.
Terpisah, Irene Wid Arisanti, kuasa hukum penggugat, mengatakan bahwa sertifikat yang dimiliki Pardinem, Poniyem, dan Ngatini tidak datang secara tiba-tiba. “Sejak tahun 1946 sudah terdaftar bahwa tanah itu milik klien kami,” ungkapnya. Meski begitu, imbuh Irene, sertifikat baru diterbitkan 1992.