Minggu, Agustus 23, 2009

Madyo Pitutur


Madyo Pitutur
Berdakwah Dengan Bercerita

MAGELANG (KR) – Berdakwah atau mengajarkan kebaikan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan bermusik atau berkesenian. Karena berisi nasehat mengenai kebajikan, maka cara penyampaian harus diolah sedemikian rupa agar diterima masyarakat luas.
Di Dusun Wonolelo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, untuk menyampaikan petuah, kaum pinisepuh mengembangkan budaya pitutur dengan media kesenian rakyat.
Ki Ipang, Ketua Studio Seni Ipang Wonolelo, kepada KR, Jumat (21/8), mengatakan ketika memberikan petuah diiringi dengan musik yang berasal dari kendang, kimpul, jedor, dan kentongan. “Madyo Pitutur ini sudah berusia sekitar 10 tahun,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, meski sebagian besar penutur ini adalah orang tua, namun anak muda juga dilibatkan dalam kegiatan Madyo Pinutur. “Misalnya untuk memegang alat musik,” kata Ipang. Menurutnya, dengan mengajarkan sejak dini kesenian pitutur ini, maka anak-anak bisa mengerti tentang budaya yang mulai ditinggalkan ini.
Ipang menjelaskan sejak usia pelajar SMP sudah dilibatkan dalam Madyo Pitutur. “Sementara orang tua berperan sebagai pengarah,” tegasnya. Respon anak muda, imbuh Ipang, cukup bagus dan bergairah dalam belajar seni pitutur.
“Lirik yang ditembangkan dalam pitutur ini berasal dari buku dan kitab,” kata Ki Ipang. Dengan ada panduannya, maka ketika syair diucapkan, tidak akan ada kesalahan. Apalagi, pitutur yang keluar akan dijadikan sebagai pegangan dalam hidup.
Hingga saat ini, ada sekitar 30 syair yang dikuasai Madyo Pinutur. “Dalam seminggu kami berlatih sekali, namun jika akan pentas, intensitasnya bisa bertambah,” jelas Ki Ipang. Untuk pentas, Madyo Pinutur telah merambah hingga se-Karisidenan Kedu. Pentas biasa dimulai jam 21.00 WIB hingga 03.00 WIB dinihari.
“Isi syair dalam pinutur adalah ajaran luhur supaya manusia selalu ingat untuk menjaga perilaku yang baik dan patut, selalu percaya diri, berpegang teguh kepada budi pekerti,” ungkap Ipang. Selain itu ada juga ajaran tata karma, tata susila, sopan, tidak sombong, dan rendah hati. (Dian Ade Permana)

Dusun Maitan, Borobudur, Magelang

Dusun Maitan, Pesona Wisata Desa


Jika ditanya, pasti tidak ada yang mengenal Dusun Maitan, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Namun, dusun yang terletak sekitar satu kilometer dari Candi Borobudur ini memiliki potensi besar dibidang pariwisata.
Meski belum tertata sempurna, namun warga dusun ini mulai menggeliat untuk menyambut wisatawan. Salah satu daya jual Dusun Maitan adalah Gunung Bakal. Walau bernama gunung, tapi ketinggiannya hanya sekitar 200 meter. Begitu naik keatas Gunung Bakal, yang terlihat hanya pepohonan, mulai dari bambu, pohon jati, hingga kelapa.
Dengan rute yang sedikit terjal, kurang dari 15 menit, sudah mencapi puncak. Inilah pesona Gunung Bakal. Di sebuah gubuk, pandangan lurus langsung melihat Candi Borobudur yang dikelilingi Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Pegunungan Menoreh. Dilain sisi, Gunung Sindoro dan Sumbing menanti untuk dinikmati.
Sarifudin, Pjs. Sekretaris Desa Borobudur, yang bermukim di Dusun Maitan mengungkapkan, bahwa sejak setahun lalu warga dusunnya telah berupaya untuk menggarap lahan pariwisata. “Ketika itu yang ditawarkan hanya wisata aktifitas masyarakat dan budayanya,” jelasnya.
Sejak awal 2009, warga mulai membuka Gunung Bakal. “Setelah itu, gubuk ini dibangun agar wisatawan nyaman berada di Maitan,” kata Udin, panggilan Sarifudin kepada KR, Rabu (19/8), di gubuk Gunung Bakal. Saat ini, hanya satu gubuk yang berukuran 2 kali 3 meter. Rencananya, gubuk akan ditambah.
“Kami tetap mempertahankan nuansa alam dan desanya, karena itu adalah daya tarik,” tegas Udin. Jika pagi hari, imbuhnya, saat matahari terbit adalah momentum terbaik untuk menaiki Gunung Bakal. Di gunung ini pula terdapat makam kuno yang dikeramatkan warga. Diantaranya Kiai Maito, Kiai Tanjung, Kiai Ciptoroso, dan Kiai Yudhokusumo.
Udin mengatakan penataan kawasan wisata di Dusun Maitan belum selesai. “Kami masih berkoordinasi dengan kelompok sadar wisata, agar kealamian tetap terjaga, sehingga wisatawan nyaman berada disini,” ujarnya. Bahkan, untuk biaya kunjungan wisata juga belum ada tarif resmi, sehingga wisatawan bisa bernegosiasi.
Lebih lanjut, selain pemandangan dari Gunung Bakal, wisatawan yang berkunjung bisa menikmati aktifitas masyarakat yang sedang menders pohon kelapa. “Itu adalah pekerjaan sebagian besar warga pembuat gula merah,” tutur Udin. Selain mendeers, warga Dusun Maitan juga berprofesi sebagai pembuat kerajinan dari bambu. Mulai dari pembuat tikar, keranjang, hingga besek.
“Jika wisatawan ingin menginap, terdapat home stay yang dikelola warga,” kata Udin. Untuk ke Dusun Maitan, dari Candi Borobudur, wisatawan bisa naik gajah atau andong. (Dian Ade Permana)