Senin, April 12, 2010

Pembajakan Buku Capai 80 Persen

KRONIS, TERJADI DI YOGYA
Pembajakan Buku Capai 80 Persen

YOGYA - Kasus pembajakan buku di Yogya makin memprihatinkan. Tak kurang dari 80 persen buku yang beredar di pasar merupakan buku bajakan, Menurut Ketua Tim Penanggulangan Masalah Pembajakan Buku (PMPB) Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Pusat, HR Harry, peredaran buku bajakan di Yogya sudah masuk dalam kategori kronis. Padahal, pembajakan buku termasuk pelanggaran Undang-undang Hak Cipta No 19 tahun 2002.
Harry menuturkan peredaran buku bajakan di Yogya didominasi di Shopping Center dan wilayah Terban. "Untuk yang Shopping Center, disana sudah termasuk mafia," jelasnya kepada KR, Senin (12/4), ketika melakukan operasi di beberapa toko buku di Terban. Modusnya, pedagang menampung pembeli menggunakan jasa kurir. Selanjutnya, kurir ini yang akan melakukan negosiasi terkait harga buku dan tata cara pembelian.
Dari hasil penelusuran Ikapi, imbuh Harry, terdapat beberapa instansi pemerintah yang menggunakan jasa kurir ini. "Padahal sudah jelas buku bajakan lebih murah dari pada yang asli," katanya. Dia menengarai ada upaya manipulasi keuangan dengan membelanjakan kebutuhan buku di Shopping Center, sementara oknum tersebut mengakukan dengan harga buku yang asli.
"Untuk ratusan buku yang kami sita, akan dijadikan barang bukti," tegas Harry. Dengan melakukan pendekatan persuasif, diharapkan pedagang yang juga mitra penerbit, tidak lagi menjual buku bajakan. Jika tetap membandel, Ikapi akan melaporkan dengan ancaman pidana. Menurut Harry, pedagang yang telah memamerkan dan menjual buku bajakan, bisa terkena pasal pidana karena turut berperan dalam menyebarluaskan barang bajakan.
Harry menegaskan, buku abal-abal atau bajakan berharga lebih murah dari buku asli karena kualitas yang seadanya. Ini dikarenakan isi yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, cetakan buruk, dan jilidan yang rapuh.
"Untuk membongkar sindikat buku bajakan tidak mudah," aku Harry. Hal ini disebabkan ada keterkaitan antara percetakan, pedagang, dan pembeli yang mengincar harga murah. Dia mengatakan, kota-kota yang beriklim dinamis untuk pendidikan, cenderung menjadi incaran para pembajak buku.
Kepala Cabang Penerbit Erlangga Wilayah DIY, Ugartua Rumahorbo, mengungkapkan pembajak termasuk jeli dalam melihat peluang. "Pembajak bekerja cepat, ada buku Erlangga yang baru keluar satu minggu, sudah dibajak," ujarnya sambil menunjukkan buku berjudul Bisnis terbitan Erlangga yang telah dibajak.
"Pembajakan ini sangat merugikan penerbit dan penulis," terang Ugartua. Dia menyatakan pembelian buku asli terbitan Erlangga mengalami penurunan drastis dengan beredarnya buku bajakan. Sementara untuk penulis, dirugikan dalam hal penerimaan royalti. (Dian Ade Permana)

Kamis, April 08, 2010

PERAJIN MINYAK KELAPA TRADISIONAL


PERAJIN MINYAK KELAPA TRADISIONAL

Tetap Bertahan Meski Digempur Pabrikan

BANTUL - Perajin minyak kelapa yang dibuat secara tradisional di Mangiran, Srandakan tetap bertahan meski minyak goreng yang dibuat dari pabrik membajiri pasaran. Hal ini dikarenakan perajin tidak mau mengecewakan pelanggan yang sudah membeli sejak 30 tahun lampau.
Menurut Sulastri (54), perajin minyak kelapa yang tersisa, dalam sehari dia bisa membuat 36 liter minyak yang berasal dari 400 butir kelapa. “Dulu bisa mencapai 1500 butir, tapi sekarang mulai sepi,” ujarnya kepada KR, Kamis (8/4). Dia mengungkapkan, peminat minyak kelapa tradisional kebanyakan adalah keluarga yang tinggal di pedesaan.
Dia mengatakan bahwa proses pembuatan minyak kelapa dengan cara tradisional membutuhkan waktu dan tenaga lebih. Proses dimulai dengan menggergaji bathok kelapa dan selanjutnya kelapa direndam minimal satu malam. “Agar nanti ketika diparut hasilnya lebih baik,” jelas Sulastri. Usai diparut dan diperas, dengan cara diinjak-injak, keluar santan yang selanjutnya diendapkan. Bagian yang bening dari pengendapan, dibuang.
“Yang kental, disebut kanil, direbus minimal 3 jam,” terangnya. Setelah itu, disaring dan diambil minyaknya. Sulastri mengungkapkan bahwa minyak kelapa produksinya dijual dengan harga Rp 7500 per liter dan diambil oleh pedagang yang ada di Kabupaten Bantul.
Sulastri mengatakan seluruh limbah dari kelapa yang dibuat minyak dijualnya lagi. Untuk bathok, dijual kepada perajin dengan harga Rp 200 hingga Rp 1000, tergantung potongan. “Air kelapa dijual Rp 4000 untuk 30 liter,” jelasnya. Sementara kethak (makanan), satu kilogram seharga Rp 20 ribu.
“Untuk harga minyak, saya mengikuti harga minyak pabrik, jika naik ya ikut naik,” ungkap Sulastri. Dia mengaku tetap bertahan dengan usaha ini karena tidak memiliki keahlian lain dan memiliki karyawan yang berjumlah 5 orang dengan tanggung jawab menghidupi keluarga. (Dian Ade Permana)