Sabtu, Juli 25, 2009

Ada cerita tentang kemarin.....

Ruangan itu tidak terlalu besar. Bahkan termasuk sumpek sebagai tempat berkarya bagi 40 orang. Tapi inilah ruangan tempat berkarya selama 15 bulan, Mei 2008 hingga Juli 2009. Deretan komputer yang tersusun rapi. Lembaran kertas yang tergeletak. Tak terurus meski tiap hari dibersihkan.
Meski tanpa sekat, tapi penguasaan atas komputer itu sangat jelas. Diluar, lobby, sarana penggemar rokok untuk menghembuskan asap. Tak jarang beralih fungsi untuk menghempaskan kegalauan dan saling meracau tentang perkembangan hari ini.
Padatnya aktifitas dimulai sedari sore, 15.00 WIB hingga dini hari menjelang. Didepan komputer dan terus berkonsentrasi. Dering telepon terus mengusik ketenangan. Teriakan untuk melengkapi kekurangan pekerjaan musti diselesaikan dalam waktu singkat. Waktu adalah musuh yang tak bisa dikompromi.
15 Bulan memang waktu yang sebentar. Tidak lama. Tapi cukup untuk “membantu membentuk karakter” dan mengenali dunia yang aku impikan. Dunia yang sekiranya dalam angan-angan, teraih dalam ketidaksengajaan. Ceritanya, pada satu kesempatan bertandang ke tempat tersohor di Salatiga, aku tertarik membaca koran yang dilanggani tersohor itu.
Diantara kolom-kolom beritanya, terselip info dunia yang kuimpikan membutuhkan tenaga-tenaga muda untuk mengkaryainya. Tanpa pikir panjang, segera kususun segala syarat untuk memenuhi klasifikasi. Setelah beberapa proses terlalui, aku menjadi bagian dari dunia ini. Karena keawaman pada dunia ini, 20 orang muda dikumpulkan di villa yang ada di Kaliurang. Pengetahuan dan pemantapan.
Tak butuh waktu lama, bergelut dan turun langsung merasakan langsung mimpi-mimpi sebuah idealisme. 20 Mei 2008, institusi tempat berkarya menyapa penduduk DIY pada edisi perdananya. Karena kebaruan itu, gejolak dinamika mememenuhi individu. Kegagapan, nampak disetiap wajah. Tapi tetap harus bertahan.
Kegelisahan memuncak. Kawan-kawan menghilang. Satu persatu. Generasi Kaliurang terus menepis. Perbedaan visi-misi, mungkin. Tak mampu menahan amarah, bisa jadi. Tak kuat dengan kerja beginiian, ada juga.
Aku, meski merasa kehilangan, mencoba mengamini keadaan. Mencoba merubah dan berubah. Bertahan dengan segala daya upaya. Tak lagi berpikir egoisme. Menepikan kegalauan. Pada titik ini, tetap merasa bisa lebih baik. Pergulatan terus memaksa untuk berseberangan. Meski tak tersampaikan, terbaca. Meski bungkam, terlihat. Pergeseran demi pergeseran membuka cakrawala dunia baru. Pengetahuan dan ilmu baru.
Terkadang ada kejenuhan melanda. Pada sebuah kewajiban memenuhi tanggung jawab sebagai laki-laki, membuang segala jenuh dan bosan. Apa daya, rutinitas di tanggal 28 setiap bulan adalah hari yang paling dinanti.
Tiba pada suatu hari, sisi emosional memenuhi ruang hati dan pikiran. Meski telah memperhitungkan segalanya, tetap harus menempuh resiko. Spekulasi akan sebuah masa depan. Semoga kita bertemu pada sebuah keadaan yang lebih baik...terima kasih untuk semua yang telah memperkaya diri ini hingga mampu menjadi seperi saat ini...
perpisahan adalah keniscayaan tanpa perubahan. pembicaraan untuk sebuah solusi hanya akan tercapai pada saat berdiri pada posisi yang sama. ada sakit dan bulir luka yang akan membekas, tapi akan tersembuhkan....

Jumat, Juli 24, 2009

Sea Food Kondang


*Sea food Kondang
Kompromikan kemahalan sea food

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Sea food identik sebagai makanan yang berharga mahal. Namun ditangan Yohanes, pemilik Sea Food Kondang yang terletak di Jalan Diponegoro, menu dijual dengan harga berkisar Rp10 ribu agar sea food bisa dinikmati semua golongan. Menurut dia, harga Rp10 ribu adalah harga kompromi.
Berawal dari 1998 ketika krisis melanda Indonesia, dia yang terombang-ambing tidak memiliki pekerjaan iseng-iseng melontarkan ide untuk membuka warung makan. “Ternyata papa saya, Gunawan, mau membantu, meski telah lama tidak masak,” jelas Yonahes.
Meski warungnya berdiri diatas trotoar, namun konsumen rela antri berjam-jam. “Jika tidak mau antre, biasanya siang hari menelepon dan janjian akan mengambil jam berapa,” ungkap Yohanes. Dia juga melayani pesanan delivery.
Kesegaran bahan baku adalah kunci Kondang Sea Food untuk mempertahankan konsumen. “Tiap hari ganti bahan, bahkan untuk kepiting dan gurami harus pesan dahulu,” jelasnya. Dia mengatakan karena warung berada di kaki lima, maka sistem pendinginnya tidak terlalu bagus, jika dipaksakan, malah mengecewakan pelanggan.
Yohanes mengungkapkan menu yang banyak dipesan adalah sop asparagus, sop sze chuan, dan udang. “Meski ada daftar menu dengan berbagai varian, konsumen juga bisa memesan sesuai keinginannya,” ungkap pria berambut gondrong ini. Dia mencontohkan cumi lombok ijo yang didaftar menu tidak ada, namun karena diinginkan konsumen, tetap memperoleh pelayanan.
“Meski berharga murah, kami tidak akan bermain-main dengan resep,” tegas Yohanes. Sejak pertama kali membuka Kondang, resep dan bumbu tetap dipertahankan. Menurut Yohanes, kunci kenikmatan setiap masakan adalah bahan baku dan komposisi bumbu yang serasi. Jika ada yang berubah, maka rasa dipastikan berbeda. Apalagi dimasak oleh tangan yang berbeda.
Dia mengungkapkan bahwa sejatinya keterampilan memasak diperolehnya secara otodidak. “Namun tetap belajar dari teman papa dan teman kakek,” buka Yohanes. Meski dilahirkan dari keluarga koki, Yohanes mengaku tidak pernah mendapat pelajaran memasak langsung dari orang tua dan kakeknya.
Menyadari konsumen semakin bertambah dan warung kaki lima tidak bisa lagi menampungnya, Yohanes mengatakan akan memindah Kondang ke kediamannya, di Jalan Arimbi, Babadan akhir tahun ini. “Setelah pindah ke rumah, tentu menu akan semakin lengkap, karena fasilitas pendukung tersedia,” jelasnya.
Penasaran dengan sea food seharga Rp10 ribu? Datang ke Jalan Diponegoro, depan Pasar Kranggan mulai pukul 18.00 WIB.

Rabu, Juli 15, 2009

Rumah Perca


Dari perca meraih untung

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA


Limbah seringkali dipandang sebelah mata. Dibuang dan hilang ditelan alam. Tapi ditangan-tangan kreatif, limbah adalah sumber inspirasi yang mendatangkan keuntungan. Dari tak bernilai menjadi berharga.
Salah seorang yang jeli melihat peluang tersebut adalah M. Mahmudha, pemilik Rumah Perca. Di awal 2005, dia yang mulanya berjualan Ponsel, melihat peluang usaha dari sisa bahan kaos di perusahaan konveksi.
“Sisa kaos itu paling dibuat keset dan lap meja,” jelas Mahmud, panggilan M. Mahmudha, di show room Rumah Perca, Jalan K.S Tubun, Rabu (15/7). Merasa 'kelas' limbah kaos itu bisa dinaikkan, Madmud mulai melakukan inovasi.
Pemanfaat yang dilakukan Mahmud adalah menata ulang perca dari bahan kaos. “Awalnya cuma saya bikin sprei dan bed cover,” jelas bapak dua anak ini. Pemasaran masih sangat terbatas. Dia mengaku hanya mendaur ulang perca untuk menjadi 'selimut' bagi barang-barang yang sudah familier di masyarakat.
Keinginan untuk menciptakan hasil kerajinan baru sempat terbesit, namun ketika ditawarkan, tidak memperoleh respon. “Kita kembali ke barang-barang yang sudah dikenal,” jelas Mahmud. Setelah produk buatannya diterima, Mahmud mulai membuat pernak-pernik sesuai permintaan pasar.
“Mulai dari tas, dompet, tempat Ponsel, dan bantal.” ujar Mahmud. Harga yang ditawarkan mulai Rp15 ribu hingga Rp300 ribu. Dia hanya menggunakan perca dari bahan katun untuk menjaga kualitas produk buatan Rumah Perca.
Proses pembuatan kerajinan perca ini tidak rumit. “Perca dari pabrik konveksi dipilah sesuai warna kemudian dipotong hingga ukuran maksimal yang dapat digunakan,” tambah Mahmud. Setelah itu, disusun sesuai motif yang diinginkan. Kemudian dipola dan dijahit.
Saat ini, Rumah Perca mempekerjakan 23 orang yang terbagi dalam divisi pemotongan dan penjahitan. “Karyawan memiliki spesialisasi sendiri-sendiri,” tandas Mahmud. Untuk bahan baku perca, dia tidak pernah merasa kesulitan karena di Jogja bertebaran pabrik konveksi.
“Kendalanya adalah modal dan pemasaran,” buka Mahmud sembari tersenyum. Sebagai media promosi, Rumah Perca yang sudah dipatenkan ini, terus aktif ikut dalam pameran. Dia mengaku belum all out menggeber Rumah Perca karena masih memperhitungkan antara permintaan dan kemampuan produksi.
Dia menambahkan bahwa kerajinan perca ini berusaha untuk memproduksi barang hingga tidak menyisakan limbah. “Kita mendapat limbah perca dan diolah menjadi barang kerajinan,” terang Mahmud. Sisa limbah dari Rumah Perca dikirim lagi ke Jawa Timur dibuat sarung tangan.

Komunitas sepeda tinggi


*Komunitas Pecinta Sepeda Tinggi
Sepeda anti global warming

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA


Pemanasan global menjadi menjadi kekhawatiran manusia. Segala upaya untuk melawannya terus dilakukan. Yang biasa dilakukan, manusia mengurangi polusi. Seperti yang dilakukan oleh Komunitas Pecinta Sepeda Tinggi (KPST) Jogja.
Menurut Sono, seorang penggiat KPST Jogja, pada awal mula berdirinya hanya ada lima orang yang memiliki sepeda tinggi. Ide penggunaan sepeda tinggi ini bermula pada 2007, ketika Ciclown Circus yang anggotanya dari Amerika Serikat dan Itali, mengunjungi Indonesia.
“Ciclown Circus mengadakan workshop, seorang anggotanya, Piero, tinggal di Indonesia,” jelas Sono dalam sebuah perbincangan di Jogja National Museum, Rabu (15/7). Setelah mendapatkan ilmu dari Piero, lima orang ini terus berkampanye dengan berkeliling kota Jogja.
Sono mengungkapkan sebelum beralih ke sepeda tinggi, kebanyakan anggota KPST menggunakan sepeda jenis low rider. “Setelah mencoba sepeda tinggi, terasa nyaman, keterusan dan jumlah penggunanya terus bertambah,” kata Sono. Saat ini, jumlah pengguna sepeda tinggi ada 24 orang dan berkumpul setiap Sabtu malam di Tugu.
Karena tidak ada pabrik yang memproduksi sepeda tinggi, maka pemiliknya harus merancang sendiri. “Tidak mahal dan tidak sulit, karena menggunakan rangka bekas yang dibeli kiloan di tukang rosok,” kata Sono yang juga artis tato ini. Sebuah sepeda tinggi biasanya terdiri dari dua rangka yang disusun keatas.
Setelah ada dua rangka, pemiliki langsung mengelas sepeda sesuai keinginan. “Yang penting tetap harus nyaman dan aman,” kata pemuda berpierching ini. Begitu juga bentuk stang dan kontruksi lainnya, sesuai dengan keinginan pemilik.
Sono mengungkapkan kegiatan anggota KPST adalah berkampanye untuk mengurangi polusi. “Kita pernah bersepeda hingga ke Jakarta,” jelas Sono. Ada tiga orang yang bersepeda hingga Jakarta, yakni Sono, Yoyok, dan Janto. Untuk bersepeda massal, anggota KPST pernah berkunjung ke Salatiga.
“Naik sepeda tinggi lebih ada sensasinya, lebih tinggi jadi bisa lihat keadaan sekitar lebih luas,” ungkap Sono. Selain ramah lingkungan, sepeda tinggi menjadi transportasi alternatif baru yang menarik bagi kalangan muda.
KPST bertekad untuk terus melestarikan budaya bersepeda di Jogja. Sono mengatakan dengan menggunakan sepeda tinggi akan lebih menarik perhatian masyarakat dengan demikian kampanye anti global warming akan efektif.
Karena unik, komunitas ini pernah pernah terlibat dalam acara Wira-Wiri yang ditayangkan Trans7 dengan pembawa acara komedian Komeng dan Adul.

Kamis, Juli 09, 2009

Panwaslu DIY dianggap over acting

*Saksi SBY-Boediono dituduh curang
Panwas dianggap over acting

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

JOGJA : Tim Kampanye Daerah DIY pasangan SBY-Boediono menganggap Panwaslu DIY bertindak mengada-ada dan over acting dengan mengatakan saksi di TPS 13 dan 14 Dusun Tegalrejo, Goni, Wonosari, Gunungkidul telah berbuat curang.
Iwan Satriawan, kuasa hukum Tim Kamda SBY-Boediono, menuntut kepada Panwaslu untuk mengklarifikasi dan menarik ucapannya tersebut. “Kata curang itu memiliki dampak negatif, Panwaslu hanya mencari sensasi,” ujar Iwan di Kantor DPD Partai Demokrat DIY, kemarin.
Dia mengancam apabila Panwaslu tidak mencabut ucapan tersebut, akan melapor ke Bawaslu. “Jelaskan letak kecurangannya, ucapan tersebut tidak sesuai fakta,” tegas Iwan. Menurut Iwan, tuduhan perbuatan curang tersebut telah mencemarkan nama baik serta kemenangan SBY-Boediono dalam pemilihan presiden.
Putut Wiryawan, Wakil Sekretaris DPD Partai Demokrat DIY, menjelaskan perbuatan yang dituduhkan Panwaslu itu bermula ketika saksi SBY-Boediono menjalankan ibadah shalat dluhur. “Usai shalat, dia melihat saksi pasangan lain mendatangi KPPS yang meminta tanda tangan untuk formulir,” kata Putut. Usai ditandatangani KPPS, saksi dari tim capres lain melapor ke Panwaslu.
Dia menambahkan bahwa saksi untuk SBY-Boediono telah memperoleh training internal. “Dan yang dibawa oleh saksi tersebut adalah formulir yang digunakan untuk kepentingan internal, bukan diserahkan kepada pihak luar,” tegas Putut.
Meski demikian, dia tidak membantah bahwa formulir internal tersebut sama dengan yang digunakan oleh KPU. “Itu untuk internal, kenapa dipermasalahkan bahkan menuduh telah berbuat curang, Panwaslu melakukan dramatisasi,” jelas Putut. Dia menilai Panwaslu telah bertindak gegabah dengan mengeluarkan pernyataan perbuatan curang tersebut.
Sementara itu GBPH. Prabukusumo, Ketua DPD Partai Demokrat DIY, mengaku telah berpesan kepada jajarannya untuk mengikuti proses Pemilu dengan jujur dan santun. “Kami tidak akan berbuat diluar aturan yang telah ditetapkan,” kata Prabukusumo.
Untuk hasil pemilihan presiden sendiri, Prabukusumo mengatakan SBY-Boediono mendapatkan suara 1.204.304. “Diikuti Megawati-Prabowo 548.586 dan JK-Win 199.750,” pungkasnya

Putro Wayang


*Putro Wayang
Pertahankan semangat bertahan

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Tak bisa dipungkiri, wayang saat ini terpinggirkan oleh budaya pop. Peminatnya semakin menipis. Minat masyarakat untuk menonton wayang kulit terus menurun. Jika pun ramai, didominasi oleh orang-orang yang tak lagi muda. Jika tidak segera diselamatkan, maka wayang akan semakin tergerus.
Salah seorang yang tetap bertahan mempertahankan wayang adalah Danang Sulistyo, pemilik Putro Wayang yang terletak di Jalan Patehan Lor, Jogja. Bagi Danang, menghidupkan wayang kulit agar tetap lestari adalah kemutlakan.
Ditemui di show room Putro Wayang, Danang mengatakan keahlian membuat wayang berasal dari orang tuanya. “Bapak saya, Nahrowi, adalah orang yang pertama kali mengenalkan wayang, ujar Danang. Dia mengakui, awalnya tidak tertarik dengan dunia perwayangan. Bahkan ketika sekolah, Danang memilih di STM jurusan Mesin.
Namun kesadaran untuk mempertahankan wayang kulit akhirnya datang juga. “Sejak tujuh tahun lalu saya mengelola Putro Wayang agar lebih tertata,” kata Danang. Dizaman orang tuanya, pemesan wayang terbatas hanya diwilayah DIY.
“Setelah Putro Wayang berdiri, kami pernah bekerja sama dengan konsumen dari Perancis,” bangga Danang. Namun karena keterbatasan bahan baku, sementara pesanan terus berdatangan, kerjasama itu terpaksa diakhiri.
Dia menambahkan meski terasa berat, tapi semangat untuk mempertahankan wayang terus dipupuknya. “Nanti anak saya juga akan saya beri pelajaran mengenai wayang,” tandas Danang. Menurut pria lajang ini, filosofi yang terkandung dalam wayang membuatnya terus bersemangat untuk mempertahankan kelestarian wayang.
Danang mencontohkan bahwa wayang kulit itu hanya keluar dari kotak jika dimainkan oleh dalang. “Selesai main, masuk lagi dalam kotak, sama seperti saat kita meninggal,” ungkapnya. Selain itu, setiap lakon yang dimainkan, pasti bersinggungan dengan jalan kehidupan manusia. Pelajaran-pelajaran tersebut termuat dalam jalinan cerita.
Karena kerumitan yang terkandung dalam cerita dan pembuatan, wayang kurang memperoleh apresiasi dari anak negeri yang mendewakan pragmatisme. “Konsumen saya 80% dari luar negeri,” kata Danang. Karena pakem yang begitu kuat, detil pembuatan ukiran dalam tubuh wayang pun tidak boleh melenceng dari aslinya.
Untuk bahan terbaik Danang mendatangkan kulit kerbau dari Jakarta dan Toraja. “Kalau yang dari Jawa, kerbau dibuat membajak sawah, jadi kulitnya rusak,” terang Danang. Pesanan kulit datang tidak menentu, tergantung order pembuatan wayang kulit.
Proses pembuatan wayang kulit kualitas terbaik membutuhkan waktu sekitar tiga minggu. “Jika satuan, harga mulai Rp200 ribu hingga jutaan, tergantung ukuran dan kualitas kulit yang digunakan,” tandas Danang. Harga satu kotak dengan karakter lengkap mencapai Rp150 juta hingga Rp300 juta.
Semangat untuk terus bertahan digenggam oleh Danang. Optimisme membuncah menemani langkahnya melestarikan wayang agar tidak punah. Bagaimana dengan anda?

Survive! Day


*Survive! Day
Acara reuni seniman marjinal

Oleh Dian Ade Permana
Harian Jogja

MANTRIJERON : Seniman tato dan seniman cetak berkumpul di Roommate Visual Art, kemarin. Menurut Bayu Widodo, penggiat Survive! Art Community, kegiatan ini adalah rangkaian pameran Memories on Print.
Bayu mengatakan kegiatan workshop tato dan sablon itu untuk mengisi kekosongan waktu pameran. “Masyarakat jenuh jika pameran hanya begitu-begitu saja, kami mencoba mengisi dengan kegiatan lain untuk meningkatkan kreatifitas,” ujar Bayu, kemarin.
Enam seniman tato yang menggelar workshop adalah Sono, Bendol, Kampret, Ibas, Codet, dan Eman. Sementara seniman cetaknya, Simo. “Mereka semua berasal dari Jogja, dan memiliki spesialisasi tersendiri dalam tato,” tegas Bayu. Dengan berkumpulnya seniman ini, diharapkan dapat menggairahkan seni di Jogja.
Bagi Bayu, tato hingga saat ini masih dianggap bermasalah orang masyarakat. “Apapun, tato adalah budaya dan seni, bahkan di Kalimantan tato adalah lambang kebudayaan,” jelas Bayu. Dengan terus menggelar workshop, diharapkan pandangan masyarakat terhadap tato bisa berubah.
“Semua seniman tato yang terlibat mementingkan kualitas dan kebersihan,” tandas Bayu. Karena pandangan masyarakat terhadap tato cenderung negatif, pekerja seni tato terus berupaya merubah 'prosesi' mentato agar sesuai dengan standar kesehatan. Misal dengan satu jarum untuk satu tato.
Dia menambahkan seniman yang terlibat dalam workshop telah lama berkarya sendiri. “Survive! Day ini adalah bagian dari reuni setelah semua berkeliling Indonesia,” ungkap Bayu. Namun karena terdorong untuk kembali membangun kekuatan komunal, seniman ini dipersatukan lagi.
Sementara itu, selain menggelar Survive! Day, Jumat (10/7) ini, Bayu Widodo dan Sutrisno Prianggodo, kurator Memories on Print, mengadakan artis talk mengenai karya-karya yang dipamerkan. “Mengenai residensi saya selama di Australia,” kata Bayu. Acara yang dimulai pukul 15.00 WIB ini terbuka untuk umum.

Rabu, Juli 08, 2009

Mbah Surip


Mbah Surip, I Love You Full

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA


JOGJA : Tak gendong kemana-mana 3x
Mantep dong enak dong
Daripada naik pesawat kedinginan
Mendingan tak gendong ayooooooo
Tak gendong kemana -mana3x
Mantep dong enak dong
dari pada naik taksi kesasar
mendingan tak gendong
where are you going
oke I am hoking
Lirik lagu yang dipopulerkan Mbah Surip ini terdengar akrab beberapa waktu belakangan. Dengan rambut gimbal panjang, topi dan rompi senantiasa mendampingi penampilannya. Tak ketinggalan, sebuah gitar yang sudah butut sebagai teman setia.
Tawa khas mengiringi pesona lelaki tua ini. Tanpa ada cemberut dan selalu tertawa. Selalu mengucap “I Love you full.” Tak pernah jelas ada maksud kata-kata itu. Bagi dia, itu hanya ungkapan rasa sayang antar sesama untuk terus menggelorakan perdamaian.
Dikenal sebagai seniman jalanan di Jakarta. Kantong-kantong seni selalu disambangi. Mulai dari Ancol hingga Wapres Bulungan. Menilik latar belakang Mbah Surip, dia dilahirkan di Mojokerto, 5 Mei 1949 dengan nama Urip Ariyanto.
Sebelum memutuskan menjadi seniman, Mbah Surip pernah bekerja di pengeboran minyak dan melalang buana di luar negeri, mulai dari Kanada, Texas, hingga Yordania. Tapi tarikan kehidupan untuk mengabdi di kesenian membuatnya meninggalkan profesinya.
Tak Gendong bukanlah lagu pertama yang dipopulerkannya. Di 1997 dia mengeluarkan album, Ijo Royo-royo. Berturut-turut, Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003) dan Barang Baru (2004). Lagu Tak Gendong sendiri diciptakan 1983 saat berada di Amerika Serikat. Mbah Surip yang bergelar MBA ini tercatat di Museum Rekor Indonesia untuk kategori menyanyi terlama.
Bagi sebagian orang, dia adalah Manusia Indonesia Sejati karena tidak pernah merasa susah, tidak gelisah, tidak sedih dan selalu tertawa. Mbah Surip mengatakan yang terpenting dalam hidupnya adalah gula dan kopi.
Dalam sebuah perbincangan di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta medio 2007, Mbah Surip mengatakan jadi orang itu harus selalu damai. “Jangan dendam, damai, haha..ahahha..i love you full,” kata Mbah Surip.
“Gak perlu susah, haahah..hahaha, sing penting ono kopi,” pinta Mbah Surip. Soal tawanya yang menggelagar, Mbah Surip hanya berkata 'embuh.' Begitu ringan Mbah Surip menjalani kehidupan. Seringan ketika dia menghibur penonton. Penuh gelak tawa.
Lirik lagu yang sederhana adalah kekuatan Mbah Surip untuk terus membaca keadaan sosial lingkungan dan negaranya. Menggunakan syair yang lugas dan terinspirasi dari sekeliling. Selalu mengajak untuk peduli dan bergerak berjuang demi perubahan.

Ketan hitam suguhan kemenangan SBY-Boediono


Ketan hitam suguhan kemenangan SBY-Boediono

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Hasil quick count yang memenangkan pasangan SBY-Boediono disambut dalam suasana yang sederhana di kediaman Boediono, Sawitsari, Condongcatur, Depok, Kabupaten Sleman, kemarin. Sebuah tenda dipasang di depan rumah. Boediono duduk disamping Rizal Mallarangeng. Dengan terus tersenyum dia menerima ucapan selamat dari sejawatnya.
Layar televisi berukuran besar terus menyajikan hasil quick count. Diseberangnya, makanan dengan menu 'seadanya' dihidangkan buat para tamu. Ada bubur ketan hitam dan bubur sagu. Di meja sebelahnya, wedang roti.
Dihalaman rumah, Herawati, istri Boediono yang memakai daster warna coklat tak henti-henti bersalaman. Ciuman di pipi entah sudah berapa kali dia layangkan. Sementara anggota keamanan terus berjaga dan mengawasi para tamu.
Hasil yang menempatkan SBY-Boediono unggul tidak menjadikan mantan Gubernur BI ini lupa dengan para pesaingnya, pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto. Bagi Boediono, pemikiran kedua pasang kompetitornya itu tetap harus diakomodir.
“Karena pemikiran yang baik, maka lahirlah demokrasi yang baik,” ujar Boediono. Jika memang terpilih, imbuh Boediono, dirinya akan mempertimbangkan pemikiran pesaingnya itu untuk dijalankan. Pemikiran tersebut dipandangnya telah memberi andil besar terhadap proses demokrasi di Indonesia hingga mampu berkembang dengan baik.
Boediono mengatakan bahwa pemikiran pasangan Mega-Pro yang mengusung isu kesejahteraan rakyat harus dijalankan untuk terciptanya kemakmuran. “Begitu juga dengan JK-Wiranto yang telah memberi rakyat pilihan,” kata Boediono.
“Tawaran-tawaran program dari para capres-cawapres semua bagus sehingga menguatkan mutu demokrasi, kami mengucapkan terimakasih kepada mereka semua atas pemikirannya untuk kesejahteraan rakyat dan kami siap untuk mempertimbagkan,” katanya.
Mengomentari hasil quick count, Boediono menegaskan bahwa hasil dari KPU-lah yang menentukan. “[Quick count] itu belum pasti, tunggu hasil resmi dari KPU,” kata Boediono. Dia mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara Pemilu, termasuk TNI dan Polri, yang telah melaksanakan tugas hingga pemilihan bisa berjalan dengan aman dan tertib. Bagi Boediono, setelah hasil Pemilu diketahui, semua pihak musti menjaga keakraban sebagai satu bangsa.
Rizal Mallarangeng mengatakan setelah memantau hasil quick count Boediono segera beristirahat. “Besok [hari ini] baru ke Jakarta,” pungkasnya.

Selasa, Juli 07, 2009

Bhumi Rasta Merdeka Permana


Bhumi Rasta Merdeka Permana,
22 Juni 2009, 15.41 WIB

lahir di waktu Ibu Kota Negara ini merayakan ulang tahunnya..
ditengah gegap gempita para calon presiden dan wakilnya meraih simpati untuk menggalang dukungan agar menjadi pemimpin Republik Indonesia..
lihat itu nak, mereka yang mengaku sebagai pemimpin dengan arogan mengaku karena 'dirinyalah' negara ini menjadi seperti ini..padahal, asal kau tahu nak, negara ini jauh dari kata baik. kata suci "Demokratis" yang diagungkan pun, tampaknya jauh dari harapan..
tidak..aku tidak ingin engkau seperti mereka, jadilah yang kau mau..jadilah manusia yang berarti untuk orang tuamu..itu saja. tak kan ada beban agar kau menjadi miniatur seperti mereka..jadilah merdeka nak..engkau Merdeka untuk menentukan dirimu sendiri..
lakukan kemerdekaanmu dengan tanggung jawab..
MERDEKA!!!!!!!

Berita : Mingguan


*Simoeh Car Leather
Berkembang karena kritik

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Sebagian orang merasa alergi dengan kritik. Karena merasa sempurna, maka kritik tidak akan diterima. Tapi tidak semua kritik itu jelek. Karena dengan memperoleh kritik, berarti masing ada yang kurang. Prinsip inilah yang dipegang oleh Muhammad Istadi alias Simoeh, pemilik Simoeh Car Leather.
Bagi dia, karena sering dikritik, usahanya saat ini menjadi berkembang. “Bahkan awal mula berdirinya Simoeh Car Leather ini, sering tidak dibayar konsumen,” kata Simoeh, di bengkelnya, Jalan Palagan Tentara Pelajar, Selasa (7/7).
Di 1999, jelas Simoeh, dia menjalankan usaha kayu, mebel, dan jok mobil. “Saat itu tidak ada yang ditekuni, tapi semua dicoba,” ujar Simoeh. Dia melirik usaha jok mobil karena melihat di Jogja pada saat itu tidak ada usaha serupa. Kalaupun ada, hanya sekelas kaki lima dan tidak digarap dengan serius.
Semakin tahun, banyak konsumen yang berdatangan. “Mulanya hanya ada empat orang karyawan yang bekerja serabutan,” kata jebolan UII ini. Karena pesanan terus menumpuk, penambahan karyawan tak terelakkan. Setelah 10 tahun, karyawan Simoeh Car Leather berjumlah 30 orang dengan spesialisasi masing-masing.
“Promosi dari konsumen ke konsumen,” jelas Simoeh. Awal mula, untuk satu mobil membutuhkan waktu penggarapan tiga hingga empat hari. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih, dalam satu hari bisa menyelesaikan tujuh mobil.
Simoeh mengungkapkan semua bahan baku dan peralatan distok dari Jakarta. “Mulai dari mesin jahit khusus jok, kulit pembungkus, lem dan benang didatangkan dari Jakarta,” ungkapnya. Dia mengaku tidak pernah mengalami kesulitan untuk pengadaan barang karena hanya dalam tempo satu hari pesanan sudah terkirim.
“Komitmen kami adalah menjaga kualitas dan persaingan harga,” tandas Simoeh, ketika ditanya resep usahanya bisa bertahan. Bahkan untuk menegaskan menjaga kualitas pekerjaan, Simoeh tidak segan-segan turun langsung mengontrol pekerjaan karyawannya. Dengan begitu, segala kekurangan dapat segera dibenahi dan komplain dari konsumen teratasi.
Simoeh menganggap perfectsionist adalah kunci dari bisnis yang dijalankannya. “Jika ada kekurangan, pasti akan mendapat teguran dan kritik, kami berusaha meminimalisir kesalahan,” ungkapnya. Bagi dia, promosi melalui konsumen adalah media yang paling efektif. Oleh karenanya, dia berusaha tidak membuat kesalahan dalam memberi pelayanan.
“Kami berusaha untuk pro aktif dalam menyelesaikan setiap keluhan konsumen,” tutur Simoeh. Menurutnya, kritik adalah sebuah motivasi untuk terus memperbaiki diri. Untuk sebuah pelayanan, dia mengaku siap rugi bagi kepuasan konsumen.
Proses pengerjaan dimulai dari pelepasan semua jok yang kan diganti kulitnya. “Setelah lepas, karyawan akan nge-mal, mengukur, dan menggambar sesuai permintaan,” jelas Simoeh. Setelah itu, jika ada rangka yang rusak diperbaiki dengan dilas.
Usai pemotongan sesuai ukuran, petugas penjahit mulai beraksi. “Jika sudah beres, tinggal dipasang kembali,” ungkapnya. Dia mengaku selalu berdiskusi dengan karyawannya untuk proses pengerjaan, dengan demikian, kontrol terhadap pekerjaan dapat dilakukan.
Disinggung mengenai biaya, Simoeh mengatakan tergantung kualitas bahan yang dipilih oleh konsumen. “Untuk yang kulit asli, harga mulai Rp5 juta hingga Rp15 juta,” jelas dia. Pergantian jok mobil jenis sedan, harga mulai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Sementara minibus, dihargai mulai Rp1,2 juta. Agar tidak ketinggalan model-model jok terbaru, Simoeh mencari referensi dari majalah terbitan luar negeri dan browsing di internet.

Berita : Big Reds Jogja


*Big Reds Jogja
You'll Never Walk Alone

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

When you walk thourgh a storm
hold your head up high
and don't be afraid of the dark
at the end of a storm
there's a golden sky, and the sweet silver song of a lark
walk on through the wind, walk on the through the rain
though your dreams be tossed and blown
Walk on, walk on, with hope in your heart, and you'll never walk alone...You'll never walk alone

Itulah lirik You'll Never Walk Alone yang menjadi lagu kebangsaan bagi seluruh penggemar klub sepakbola asal Inggris, Liverpool. Lagu ini mula-mula hanya terdengar di Stadion Anfield, kandang Liverpool. Namun setelah penggemarnya menggurita, syair itu pun dihapal oleh seluruh Liverpuldian di seluruh dunia.
Sekarang, lagu itu tidak hanya dinyanyikan di Anflied. Di Jogja pun, kala Liverpool bertanding, dengan lantang anggota Big Reds Jogja mengumandangkannya. Big Reds adalah Indonesian Official Liverpool Football Club Suppoters Club alias kumpulan suporter The Kop di Indonesia yang telah memperoleh lisensi resmi.
Redi S. Hamdani, Korwil Big Reds Jogja, mengatakan secara nasional Big Reds berdiri pada 28 Desember 1999. “Big Reds Indonesia mendapat lisensi pada 18 Oktober 2004,” jelas Redi. Untuk Korwil Jogja, resmi bergabung pada 2005.
“Untuk mengumpulkan anggota dan bergabung secara resmi, susah-susah gampang tapi tetap perlu perjuangan,” jelas Redi. Dia berkisah, pada awal mula berdiri, dirinya selalu menyambangi tempat digelarnya acara nonton bareng yang menyiarkan Liverpool. Dari sini, terlihat antusiasme pendukung.
Dari lima orang, anggota Big Reds terus berkeliling dari satu lokasi Nonbar ke lokasi lainnya. “Tujuannya mencari anggota baru,” ungkap Redi. Selain dari acara Nonbar, perekrutan anggota juga bergerilya dari kos ke kos dan kampus. Saat ini, anggota resmi ada 80 orang.
Setiap jeda kompetisi adalah masa yang 'melelahkan' karena tidak ada acara pemersatu anggota. Namun, Big Reds mengadakan kegiatan non sepakbola untuk menjalin keakraban. “Apa saja yang penting bisa bersama, mulai dari paint ball, rafting, nonton, bioskop, atau futsal,” tandas Redi. Kegiatan rutin adalah futsal tiap Selasa malam.
Kegiatan Big Reds Jogja termasuk bejibun. “Selain mengadakan kunjungan antar Korwil, saat bulan puasa, kita melakukan kegiatan sosial,” jelas Redi. Dia mengungkapkan, Big Reds juga menjalin silaturahmi dengan suporter klub lain.
“Di Big Reds, kita bisa tukar informasi, termasuk tahu paling awal mengenai perkembangan Liverpool,” jelas Redi. Bagi pencinta Liverpool, menjadi satu kebanggaan tatkala memperoleh informasi lebih awal dan lebih lengkap dibanding yang lainnya. Sarana informasi anggota Big Reds adalah majalah Walk On Reds Letter.
Aji Wibowo, Humas Big Reds Korwil Jogja, menambahkan sebagai bukti loyalitas kepada Liverpool, setiap tahun ada program dari Big Reds yang mengirim anggota untuk menonton pertandingan ke Stadion Anfield secara langsung. “Tapi akomodasi ditanggung sendiri,” cetusnya. Big Reds hanya akan memfasilitasi anggota.
“Jika ada Liverpool tour Asia, anggota Big Reds Jogja selalu ada perwakilan untuk menonton,” ungkap Aji. 26 Juli mendatang, empat orang anggota Big Reds Jogja berangkat ke Singapura untuk menonton Liverpool bertanding.
Bagi Aji prestasi Liverpool yang tidak stabil bukan alasan untuk tidak memberikan dukungan. “Ini soal loyalitas dan kebanggan, kami yakin Liverpool akan memperoleh hasil terbaik, pemainnya juga sudah cukup mumpuni untuk meraih juara,” tandas penggemar Steven Gerrard ini.

Berita : 8 Juli 2009


*Buruh gendong Pasar Giwangan
Berebut tapi tetap rukun

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Puluhan perempuan tua yang duduk-duduk di emperan tenda tiba-tiba berlari mendekati mobil pick-up yang mengangkut sayuran. Menantang panas dalam keriuhan suara, mereka beradu cepat mengambil puluhan karung sayur dan mengangkatnya. Tak kurang dari 15 menit, isi mobil itu telah terkuras.
Salah satu perempuan yang mengangkut karung sayur tadi Nardi Wiyono, warga Petoyan, Panggung, Wonosari, Gunungkidul. Ibu tiga anak ini sudah empat tahun menjadi buruh gendong di Pasar Giwangan. Awalnya, dia bertani. Tapi karena hasil panen tidak bisa dikompromi, turun ke kota adalah pilihan yang dilakoni.
“Tani sepi mas, namung tumut tiyang,” ujar Nardi sembari membuang peluh dengan bajunya. Tuntutan membiayai kehidupan keluarga membuatnya menuruti ajakan tetangga untuk menjadi burung gendong. Meski penghasilan tidak menentu, namun setidaknya, penghasilan Rp15 ribu menjadi tabungan untuk kembali ke desa.
Dengan menghela nafas, tanda kecapekan usai mengangkut karung, Nardi melanjutkan ceritanya. “Ne ngangkat kintalan, rodo mending mas, saget borongan,” tutur dia. Untuk satu karung yang diangkut dalam hitungan kuintal, buruh mendapat upah antara Rp2000 hingga Rp3000. Namun jika hanya satuan, tiap karung yang diangkut, buruh mendapat Rp1000. Tergantung kesepakatan dengan pemilik sayur.
“Kerja jadi buruh,” kata Nardi, “Sing paling penting njogo awak, tetep kuat, ne ra kuat ora mangan,” ujarnya dengan tergelak. Kerja mulai dari pukul 14.00 WIB hingga 21.00 WIB sangat menguras tenaga. Kekuatan adalah kunci bagi Nardi dan puluhan buruh gendong lain untuk mengais rejeki. Tanpa kekuatan otot, mereka akan tergilas dan uang tak kan dimiliki.
Selain kekuatan, para buruh juga mesti berebut dengan rekannya. “Sopo sing cepet, kui sing entuk karung,” lirih Nardi. Terkadang, dalam perebutan rejeki tersebut, ketegangan antar buruh terjadi. Tak jarang, adu mulut karena merasa paling berhak atas karung-karung mengemuka.
Untuk mengendorkan ketegangan, sekali dalam sebulan, para buruh gendong Pasar Giwangan berkumpul dan mengadakan arisan. “Mboten kathah, sing penting guyub,” derai Nardi. Dengan Rp5000, segala perselisihan karena karung menjadi lebur dalam semangat untuk hidup rukun.
Sadar pendapatan yang diperoleh tak seberapa, Nardi mensiasati dengan membayar uang kos perhari. “Ne perhari niku, saumpomo wangsul ting Gunungkidul, mboten sak mbayar,” tandasnya. Harga sewanya, Rp3000 perhari.
Narti, seorang buruh yang lain mengatakan, meski terlihat santai namun tetap ada aturan tidak tertulis yang musti ditaati. “Jika truk besar, itu jatahnya buruh angkut laki-laki,” jelas Narti. Setelah buruh laki-laki menurunkan semua karung, giliran buruh perempuan mengambil alih.
“Peraturan ini agar tidak ada buruh yang iri, yang penting, semua bisa makan,” ungkap Narti. Dia beranggapan, rejeki sepenuhnya berada ditangan Tuhan. Sementara, manusia hanya harus berusaha...