Kamis, April 08, 2010

PERAJIN MINYAK KELAPA TRADISIONAL


PERAJIN MINYAK KELAPA TRADISIONAL

Tetap Bertahan Meski Digempur Pabrikan

BANTUL - Perajin minyak kelapa yang dibuat secara tradisional di Mangiran, Srandakan tetap bertahan meski minyak goreng yang dibuat dari pabrik membajiri pasaran. Hal ini dikarenakan perajin tidak mau mengecewakan pelanggan yang sudah membeli sejak 30 tahun lampau.
Menurut Sulastri (54), perajin minyak kelapa yang tersisa, dalam sehari dia bisa membuat 36 liter minyak yang berasal dari 400 butir kelapa. “Dulu bisa mencapai 1500 butir, tapi sekarang mulai sepi,” ujarnya kepada KR, Kamis (8/4). Dia mengungkapkan, peminat minyak kelapa tradisional kebanyakan adalah keluarga yang tinggal di pedesaan.
Dia mengatakan bahwa proses pembuatan minyak kelapa dengan cara tradisional membutuhkan waktu dan tenaga lebih. Proses dimulai dengan menggergaji bathok kelapa dan selanjutnya kelapa direndam minimal satu malam. “Agar nanti ketika diparut hasilnya lebih baik,” jelas Sulastri. Usai diparut dan diperas, dengan cara diinjak-injak, keluar santan yang selanjutnya diendapkan. Bagian yang bening dari pengendapan, dibuang.
“Yang kental, disebut kanil, direbus minimal 3 jam,” terangnya. Setelah itu, disaring dan diambil minyaknya. Sulastri mengungkapkan bahwa minyak kelapa produksinya dijual dengan harga Rp 7500 per liter dan diambil oleh pedagang yang ada di Kabupaten Bantul.
Sulastri mengatakan seluruh limbah dari kelapa yang dibuat minyak dijualnya lagi. Untuk bathok, dijual kepada perajin dengan harga Rp 200 hingga Rp 1000, tergantung potongan. “Air kelapa dijual Rp 4000 untuk 30 liter,” jelasnya. Sementara kethak (makanan), satu kilogram seharga Rp 20 ribu.
“Untuk harga minyak, saya mengikuti harga minyak pabrik, jika naik ya ikut naik,” ungkap Sulastri. Dia mengaku tetap bertahan dengan usaha ini karena tidak memiliki keahlian lain dan memiliki karyawan yang berjumlah 5 orang dengan tanggung jawab menghidupi keluarga. (Dian Ade Permana)