Selasa, Juli 07, 2009

Berita : 8 Juli 2009


*Buruh gendong Pasar Giwangan
Berebut tapi tetap rukun

Oleh Dian Ade Permana
WARTAWAN HARIAN JOGJA

Puluhan perempuan tua yang duduk-duduk di emperan tenda tiba-tiba berlari mendekati mobil pick-up yang mengangkut sayuran. Menantang panas dalam keriuhan suara, mereka beradu cepat mengambil puluhan karung sayur dan mengangkatnya. Tak kurang dari 15 menit, isi mobil itu telah terkuras.
Salah satu perempuan yang mengangkut karung sayur tadi Nardi Wiyono, warga Petoyan, Panggung, Wonosari, Gunungkidul. Ibu tiga anak ini sudah empat tahun menjadi buruh gendong di Pasar Giwangan. Awalnya, dia bertani. Tapi karena hasil panen tidak bisa dikompromi, turun ke kota adalah pilihan yang dilakoni.
“Tani sepi mas, namung tumut tiyang,” ujar Nardi sembari membuang peluh dengan bajunya. Tuntutan membiayai kehidupan keluarga membuatnya menuruti ajakan tetangga untuk menjadi burung gendong. Meski penghasilan tidak menentu, namun setidaknya, penghasilan Rp15 ribu menjadi tabungan untuk kembali ke desa.
Dengan menghela nafas, tanda kecapekan usai mengangkut karung, Nardi melanjutkan ceritanya. “Ne ngangkat kintalan, rodo mending mas, saget borongan,” tutur dia. Untuk satu karung yang diangkut dalam hitungan kuintal, buruh mendapat upah antara Rp2000 hingga Rp3000. Namun jika hanya satuan, tiap karung yang diangkut, buruh mendapat Rp1000. Tergantung kesepakatan dengan pemilik sayur.
“Kerja jadi buruh,” kata Nardi, “Sing paling penting njogo awak, tetep kuat, ne ra kuat ora mangan,” ujarnya dengan tergelak. Kerja mulai dari pukul 14.00 WIB hingga 21.00 WIB sangat menguras tenaga. Kekuatan adalah kunci bagi Nardi dan puluhan buruh gendong lain untuk mengais rejeki. Tanpa kekuatan otot, mereka akan tergilas dan uang tak kan dimiliki.
Selain kekuatan, para buruh juga mesti berebut dengan rekannya. “Sopo sing cepet, kui sing entuk karung,” lirih Nardi. Terkadang, dalam perebutan rejeki tersebut, ketegangan antar buruh terjadi. Tak jarang, adu mulut karena merasa paling berhak atas karung-karung mengemuka.
Untuk mengendorkan ketegangan, sekali dalam sebulan, para buruh gendong Pasar Giwangan berkumpul dan mengadakan arisan. “Mboten kathah, sing penting guyub,” derai Nardi. Dengan Rp5000, segala perselisihan karena karung menjadi lebur dalam semangat untuk hidup rukun.
Sadar pendapatan yang diperoleh tak seberapa, Nardi mensiasati dengan membayar uang kos perhari. “Ne perhari niku, saumpomo wangsul ting Gunungkidul, mboten sak mbayar,” tandasnya. Harga sewanya, Rp3000 perhari.
Narti, seorang buruh yang lain mengatakan, meski terlihat santai namun tetap ada aturan tidak tertulis yang musti ditaati. “Jika truk besar, itu jatahnya buruh angkut laki-laki,” jelas Narti. Setelah buruh laki-laki menurunkan semua karung, giliran buruh perempuan mengambil alih.
“Peraturan ini agar tidak ada buruh yang iri, yang penting, semua bisa makan,” ungkap Narti. Dia beranggapan, rejeki sepenuhnya berada ditangan Tuhan. Sementara, manusia hanya harus berusaha...

Tidak ada komentar: