Senin, Oktober 11, 2010

Cacing Adalah Harapan Kehidupan




Cacing Adalah Harapan Kehidupan

Bagi sebagian orang, cacing adalah binatang menjijikan yang harus dihindari. Binatang yang hidup dalam tanah ini, pun menjadi makhluk yang dihindari. Namun saat ini, bagi Kelompok Peternak Brajagama, Dusun Brajan, Tamantirto, Kasihan, cacing adalah harapan kehidupan. Cacing menjadi sandaran kehidupan setelah mereka menyadari, profesi lama sebagai perajin batu bata telah merusak alam dan tak lagi bisa menjamin nafkah keluarga karena kualitas tanah yang terus merosot.
Seorang peternak, Irnadianto mengatakan dari sekitar 400 KK Dusun Brajan, 80 persen diantaranya adalah perajin batu bata. “Ternak hanya menjadi sambilan, namun sekarang mereka harus berpikir ulang karena tanah tidak lagi bisa digali,” ujarnya kepada KR, Sabtu (9/10). Menurutnya, warga saat ini musti berlomba melakukan penghijauan karena lahan semakin kritis dan mulai tergerak untuk ber-integrated farming. Caranya, dengan mengkombinasikan kambing dengan budidaya cacing.
Awal 2008, kisah Irnadianto, hanya ada 2 kambing yang diternak oleh kelompok ini. Sekarang, jumlahnya mencapai 90 ekor. “Daripada kotorannnya terbuang percuma, kami pun berkonsultasi dengan UGM agar bisa dimanfaatkan,” ujarnya. Kelompok ini pun mulai mengembangkan cacing dan belut, dengan kotoran kambing sebagai pakannya.
Irna, panggilan akrabnya, mengungkapkan bahwa caing dipilih karena tidak memakan banyak tempat, perawatan mudah, serta yang terpenting, keuntungan yang lumayan. Modal awal, ungkapnya, hanya membeli bibit cacing seharga Rp 80 ribu per kilonya ditambah media hidup yang terbuat dari owol atau ampas aren seharga Rp 10 ribu. “Untuk rak dari bambu, saya buat sendiri,” ujar pemuda tamatan SMP ini.
Untuk perawatan, Irna hanya memberi makan dari kotoran kambing yang telah dicampur air selama semalam untuk selanjutnya ditiriskan dan dijemur. “Satu minggu dua kali,” terangnya. Agar cacing betah dan hidup, dia mengandalkan lampu kecil. Harapannya, cacing bersembunyi dalam owol dan berkembang biak. Kendala terbesar adalah gangguan tikus, serangga, dan ayam yang memang secara alamiah memangsanya.
Usia pengembangbiakan cacing hanya sekitar 3 bulan. Induknya, dapat terus beranak hingga tiga kali. Sementara anakan dipisah, cacing pun terus bekembang dan dipanen. Sekilonya, cacing siap panen dijual dalam kisaran Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. “Saya berupaya agar budidaya ini berhasil dan semua warga meninggalkan penggalian tanah,” tegasnya. Nantinya, cacing ini dimanfaatkan untuk pengobatan segala penyakit pencernaan seperti tipus dan maag.
Indar Julianto, selaku Tim Pembina dari Universitas Gajah Mada (UGM) mengungkapkan bahwa pihaknya hanya berupaya mencarikan solusi agar kerusakan tanah tidak meluas. Dengan memelihara kambing, maka yang dibutuhkan adalah tanaman pakan. “Kami memotivasi warga agar lahan ini dapat diselamatkan karena kerusakannya sudah termasuk parah,” pungkasnya. (Dian Ade PErmana)

Tidak ada komentar: